
Sejarah dan akar budaya Skinhead sebenarnya dirintis jauh di luar
Inggris, tepatnya di Jamaika, sebuah negara pulau di laut Karibia. Satu
hal yg sangat penting dan perlu diketahui bahwa perkembangan budaya
Skinhead tidak bisa dipisahkan dari perkembangan musik ska, dan budaya
orang - orang kulit hitam di Jamaika pada umumnya. Saat itu tgl 5
agustus 1962, saat Inggris memberi kemerdekaan pada Jamaika setelah
selama 300 tahun dijajah oleh negara Ratu Elizabeth II itu. Berbarengan
dengan perayaan kemerdekaan Jamaika itu muncul sebuah jenis musik baru
yg disebut Ska. Ska sendiri sebenarnya sudah dirintis perkembangannya
semenjak di era 50-an dulu, karena itu ada baiknya kita flashback ke era
itu. Tahun 50-an adalah masa dimulainya era musik modern Jamaika, era
itu dimulai dengan sebuah budaya yang sangat unik dan hanya ada di
Jamaika sampai saat ini, yaitu era Sound System. Di namakan era sound
system karena satu-satunya jalan bagi kalangan kelas bawah yang
merupakan mayoritas di sana untuk mendengarkan musik saat itu adalah
melalui sound system. Caranya adalah dengan memutar piringan hitam musik
Jazz, Motown Soul dan RnB Amerika di seperangkat alat pemutar piringan
hitam dan untuk pengeras suaranya dipakai seperangkat pengeras suara /
sound system. Biasanya hal itu dilakukan di pesta - pesta yang digelar
di jalanan, jadi benar-benar musik jalanan untuk kaum bawah yang haus
hiburan tapi tidak bisa datang ke klub-klub malam yang mahal dan mewah
atau pergi liburan ke tempat-tempat wisata seperti Miami, pokoknya
benar-benar lower class entertainment. Tetapi bukan berarti permintaan
akan LIVE musik tidak ada. Pada mulanya para musisi Jamaika hanya
memainkan lagu-lagu Jazz dan RnB seperti Fat Domino, Louis Jordan dan
Ray Charles, sampai akhirya mereka merasa perlu untuk membuat lagu
sendiri dengan cara meniru gaya bermusik artis RnB di Amerika, terutama
gaya bermusik Boogie Rock ala New Orleans. Namun pada kenyataannya para
musisi seperti Laurel Aitken dan Skatalites gagal meniru gaya yang
seperti itu, yang terjadi adalah mereka malah menciptakan gaya musik
baru yg merupakan penggabungan dari musik Jazz dan RnB Amerika dengan
musik traditional Jamaika yaitu Calypso dan Mento, dan hasilnya adalah
sebuah formulasi musik yg dikenal sebagai ska. Era ska berlangsung dari
tahun 1962 sampai tahun 1966 saat ska berubah temponya menjadi sedikit
lebih lambat dan nge-Soul, tempo dan gaya ini disebut Rocksteady, nah….
Rocksteady inilah yg kemudian berevolusi lagi menjadi musik yg saat ini
dikenal dunia sebagai Reggae. Satu hal yg sangat penting dari era ska di
Jamaika yg erat hubungannya dgn sejarah budaya Skinhead adalah
kemunculan para Rude boy. Para Rude boy ini adalah anak - anak muda yg
terpikat dgn segala janji - janji muluk tentang kemakmuran setelah
kemerdekaan Jamaika. Mereka berurbanisasi secara besar-besaran dari
kota-kota seperti Negril dan Port Royal ke Kingston town, ibu kota
Jamaika dgn harapan bisa mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Namun
akibat dari skill dan pendidikan mereka yg rendah serta langkanya
lapangan pekerjaan di Kingston membuat mereka menjadi pengangguran dan
akhirnya terpaksa bertahan hidup dgn menjadi preman jalanan, sebagian
besar bahkan terlibat dalam kejahatan terorganisasi. Mereka terpaksa
tinggal di daerah-daerah kumuh seperti Orange Street dan Trench Town
yang sarat dgn permasalahan sosial seperti perdagangan ganja dan
perkelahian antar gank. Kehidupan keras inilah yg membuat mereka menjadi
kasar dan tangguh (rough & tough), serta terbiasa dgn kekerasan dan
kejahatan, dari sinilah muncul istilah “Rude boy” yg kira-kira artinya
adalah “Preman Jalanan”. Rude boy itu tangguh seperti seekor singa dan
kuat seperti baja, begitulah katanya Derrick Morgan dalam lagu Rougher
than Rough….., mereka berkeliaran di jalan-jalan kota Kingston dengan
pistol ataupun belati di balik setelan jasnya. Pandangan akan preman
jalanan dan penjahat inilah yang menjadikan mereka sebagai kaum yg
ditolak keberadaannya oleh masyarakat. Rude boy inilah para fans musik
ska saat itu, hal ini mungkin dikarenakan ska yg musisinya berasal dari
ghetto (daerah kumuh) sama seperti mereka, sehingga ska identik dgn
pemberontakan dan diberi label musik kelas bawah. Hal lain yang sangat
menonjol dari para Rude boy ini adalah gaya mereka yg cool, cara
berpakaian mereka yg necis, rapih dan elegan. Setiap uang yang mereka
hasilkan pastilah dihabiskan untuk membeli setelan jas, sepasang sepatu
kulit warna hitam yang disemir mengkilat, topi pork pie dan kaca mata
hitam, benar-benar sebuah anti tesis terhadap latar belakang mereka yang
berasal dari kelas bawah yang miskin. Tahun 1966 berbarengan dgn
berubahnya ska menjadi rocksteady dan keadaan ekonomi Jamaika yang
semakin terpuruk, kekerasan dan kejahatan yg dilakukan para Rude boy
semakin menjadi-jadi, hal ini semakin diperparah dgn adanya campur
tangan dari para politisi yg memakai mereka sebagai body guard untuk
menjalankan kepentingan politiknya. Akibatnya pertarungan antar gank
Rude boy semakin sering terjadi, masing-masing mati-matian membela
teritorial dan kepentingan politik tuannya, korban pun berjatuhan,
Kingston pun menjadi medan perang. Opini publik pun langsung menghakimi
para Rude boy dan meyerukan pelucutan senjata dan penangkapan para Rude
boy secara besar-besaran. Akibatnya tak sedikit dari mereka yang
dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan yang benar, dan yang
lebih menyakitkan para politisi yang mereka bela sama sekali tidak
membela mereka, bahkan malah memojokkan mereka. Para musisi ska yang
mempunyai hubungan erat dgn para Rude boy segera merespon hal ini,
mereka menciptakan lagu-lagu yang membela para Rude boy, namun sekaligus
melakukan penyadaran terhadap mereka melalui lirik lagu mereka seperti
007 shanty town ( Desmond Dekker), Too hot (Prince Buster), Rougher than
rough (Derrick morgan), Cry though ( Alton ellis), serta yg paling
legendaris Rudy, a message to you (Dandy livingstone) yang kelak di
populerkan kembali oleh The Specials. Keadaan Jamaika yang semakin morat
marit membuat sebagian penduduknya berimigrasi ke Inggris, tentunya dgn
harapan akan penghidupan yang lebih layak. Para imigran inilah yang
membawa budaya kulit hitam Jamaika terutama musik Ska / Rocksteady /
Reggae ke negeri berbendera Union Jack tersebut. Di antara mereka bahkan
ada beberapa musisi kenamaan Jamaika seperti Laurel Aitken yang kelak
di sebut-sebut sebagai The God Father of Ska dan Rico Rodrigues seorang
pemain trombone yang pernah bergabung dgn band ska pertama di dunia, The
Skatalites, dan tentunya beberapa Rude boy pun ikut dalam gelombang
imigrasi ini, di sinilah mereka bertemu dgn budaya anak muda kulit putih
Inggris yg menamakan dirinya Mods….,,
Anak-anak muda yang menamakan diri mereka Mods muncul di Inggris untuk
pertama kalinya di akhir tahun 50-an. Nama budaya mereka yang merupakan
singkatan dari “modernisme” diambil dari penolakan mereka atas
Tradisional Jazz yang melanda Inggris beberapa saat sebelum era The
Beatles. Mods pada awalnya adalah fans berat musik Modern Jazz seperti
Dave Bruebeck, hal itu tidaklah berlangsung lama sampai akhirnya mereka
jatuh cinta pada Black music dari Amerika seperti Northern Soul, RnB,
dan tentunya musik Ska Jamaika. Budaya ini juga dikenal sebagai pihak yg
membidani lahirnya “Garage band” yang paling berpengaruh di abad 20,
yaitu The Who dan The Small Faces. Seperti halnya budaya anak muda
lainnya Mods pun mempunyai cara berpakaian tersendiri, malahan hal itu
adalah hal yang terpenting bagi mereka. Layaknya para Rude boy di
Jamaika, para Mods ini berpakaian sangat rapih dan necis, setelan jas
buatan Italia, sepasang sepatu brogues, parka (semacam mantel untuk
berkendaraan) dan yang terpenting dari semuanya, Scooter (biasanya
bermerek Lambretta). Mereka biasanya nongkrong di kafe-kafe atau coffee
shop seputaran London, tentunya sambil mendengarkan Soul, RnB, dan Ska.
Satu hal yang paling penting di ingat di sini bahwa Mods sangat-sangat
mengejar Fesyen terutama merek-merek tertentu seperti kemeja Jaytex, hal
itu karena ide dasar dari Mods adalah bagaimana caranya untuk terlihat
lebih cool dan bergaya ketimbang orang-orang normal, bergaya seperti
seorang pekerja mapan walaupun kenyataanya mereka masih sekolah. Pada
awalnya anak-anak muda yang mengadopsi Mods sebagai identitas diri
sangatlah sedikit, tapi memasuki tahun 1962 budaya ini semakin banyak
pengikutnya, walaupun belum sampai pada taraf trend atau mewabah. Tapi
dibalik penampilan mereka yang cenderung terlihat seperti kelas
menengah, sebenarnya Mods adalah murni budaya kelas pekerja. Hal yang
membuat para Mods berpenampilan seperti itu adalah karena budaya mereka
sebenarnya merupakan sebuah kontra budaya terhadap Teddy Boys / greasers
/ rockers yang muncul beberapa dekade sebelumnya. Semua hal dari
pakaian, musik yang didengarkan, kendaraan sampai cara berpikir Mods
adalah kebalikan 180 derajat dari para rockers. Mods tampak necis dgn
setelan jas buatan italianya, sedangkan Rockers tampil gahar dgn celana
kulit dan jaket kulitnya, Mods mendengarkan Soul, RnB dan Ska, sedangkan
Rockers mendengarkan Rock N’ Roll, Mods berkeliaran di jalan - jalan
dgn scooter Lambrettanya, sedangkan Rockers dgn motor Harley
Davidsonnya, dan masih segudang hal bertentangan lainnya. Pertentangan
ini membuat mereka membenci satu sama lain, tak jarang hal itu
mengakibatkan perkelahian di antara mereka, yang paling legendaris
adalah perkelahian di Bank Holiday (semacam liburan musim panas) di tepi
pantai Brighton tahun 1964. Hal itulah yang membentuk opini publik yang
buruk terhadap mereka, layaknya Rude boy di Jamaika, Mods di anggap
sebagai berandalan, kaum yang ditolak keberadaanya oleh masyarakat.
Semenjak pasca PD II telah terjadi imigrasi penduduk Jamaika ke Inggris,
hal ini terjadi gelombang demi gelombang dan mencapai puncaknya antara
tahun 1964 – 1966. Para imigran kulit hitam ini tinggal di daerah-daerah
tempat kelas pekerja Inggris tinggal, di sinilah terjadi interaksi
budaya antara Mods dan anak2 muda imigran Jamaika. Fenomena Rude Boy
yang terjadi di Jamaika ternyata dgn cepat menyebar di antara anak-anak
muda imigran Jamaika kelahiran Inggris, ditambah datangnya beberapa
orang Rude boy “asli” kingston di lingkungan mereka. Dengan cepat mereka
mengadopsi cara berpakaian Rude boy di Kingston dan mendengarkan musik
yang saat itu sedang hits di Jamaika seperti Prince Buster dan Alton
Ellis. Gaya Rude boy ini segera saja mewabah pula dikalangan Mods,
ketertarikan mereka terhadap musik Jamaika yang sudah ada semenjak awal
perkembangan budaya ini pun menjadi semakin besar, bahkan Pork Pie Hat
ala Prince Buster pun menjadi aksesoris wajib. Ska tiba-tiba saja
menjadi musik utama para Mods, kepopuleran Prince Buster dikalangan Mods
tiba-tiba saja mengalahkan artis - artis motown seperti Martha Reeves
and The Vandelas ataupun Marvin Gaye. Dan yang terpenting kini mereka
punya sekutu baru dalam melawan Rockers, para anak muda imigran kulit
hitam asal Jamaika, ya…. Para “UK based Rude boy”. Di tahun 1967 budaya
Mods semakin mewabah di Inggris, sampai-sampai lagu Prince Buster
berjudul “Al Capone” mencapai nomor 18 di tangga lagu nasional Inggris,
padahal hanya para Mods lah yang mendengarkannya. Mewabahnya Mods
membuat budaya ini mulai kehilangan esensi dan pemikiran dasarnya. Mods
yang pada awalnya adalah murni budaya kelas pekerja kini mulai tercemar
dgn masuknya anak-anak kelas menengah bahkan kelas atas yang sebenarnya
hanya tertarik dgn fashion Mods tanpa tahu dasar pemikiran budaya ini.
Tiba-tiba saja Mods hanyalah tentang pakaian bagus dan mahal, bahkan
seorang Mods yang tidak berpakaian seperti itu pasti akan ditertawakan
dan tak akan di terima oleh Mods lainnya. Hal ini tentu saja tak masalah
bagi mereka anak-anak kelas menengah yang orang tuanya kaya raya, tapi
masalah besar bagi anak-anak kelas pekerja, bayangkan….. uang saku
mereka hanyalah 10 pound perminggu, sedangkan harga pakaian yang “
dianggap” sebagai pakaian Mods yang benar saat itu adalah 15 pound….!!!
Pada akhirnya apapun di dunia ini adalah tentang kelas, hal itu pulalah
yang terjadi pada Mods. Pembagian pun segera terjadi, Mods kelas
menengah di satu sisi, dan Mods kelas pekerja di sisi lainnya. Para Mods
kelas pekerja ini menolak cara berpakaian mewah ala para Mods kelas
menengah, terlebih lagi di antara anak-anak kelas menengah itu mulai
berjangkit pola pikir “generasi Bunga / hippies”. Mods kelas pekerja ini
tiba-tiba saja menjadi kontra budaya terhadap “Mods kelas menengah.
Cara berpakaian mereka berubah menjadi lebih “Hard”. Setelan jas buatan
Italia di gantikan dgn kemeja Ben Sherman, jaket Denim dan celana jeans
Levi’s 501, dan yang cukup ekstrim : rambut klimis mereka di cukur
semakin pendek (hampir botak) dan sepatu kulit yang mewah dan mengkilat
digantikan dengan Boots yang biasa dipakai pekerja industri logam atau
pekerja tambang. Cara berpikir dan tingkah laku mereka pun semakin jauh
berbeda dgn “Mods tradisional”, anak-anak kelas pekerja ini lebih
agresif, lebih suka melakukan kekerasan dan lebih provokatif terhadap
musuhnya para Rockers, karenanya mereka mendapatkan julukan baru : Hard
Mods. Pada akhir tahun 1968 para Mods Tradisional yang kebanyakan adalah
anak kelas menengah masuk ke kuliah-kuliah seni, sebuah hal yang
mustahil di dapat para Hard Mods. Hari-hari di kampus kuliah seni inilah
yang membuat para Tradisional Mods ini akrab dgn Pop Art, musik Rock
Kontemporer ala The Cream, dan yang paling esensial Pola Pikir Hippie
yang semakin melekat di otak mereka dari hari ke hari, ya…. Mods kelas
menengah berevolusi menjadi Hippies, dan menyerahkan jalan2 kosong di
se-antero Inggris kepada sekelompok anak muda tangguh yang kelak
dinamakan Skinhead.
Pada dasarnya Skinhead adalah gelombang baru dari budaya Mods yang sudah
berkembang beberapa tahun sebelumnya. Pada awalnya mereka disebut
sebagai Hard Mods, sebuah sebutan yang mengacu pada dandanan, tingkah
laku dan pola pikir mereka yang lebih keras dari pada Tradisional Mods.
Para Skinhead ini lebih terkesan berandalan dari para pendahulunya,
mereka lebih sering melakukan kekerasan, sebuah perilaku alami dari
anak-anak kelas pekerja yang tak puas dengan kenyataan hidupnya. Satu
hal yang perlu diingat disini bahwa sebenarnya kemunculan para Skinhead
ini adalah sebuah penolakan terhadap cara berpikir Mods yang saat itu
mulai kehilangan esensinya (Sebagian besar para Mods saat itu menjadi
Hippies). Mereka adalah orang-orang yang menolak cara berpakaian
Tradisional Mods yang saat itu sangatlah mahal dan tidak bisa dibeli
oleh anak-anak kelas pekerja seperti mereka.
Namun layaknya Mods, Skinhead pun sangat menghormati cara berpakaian
yang necis dan rapih. Bedanya dengan Mods, ide dasar dari fashion
Skinhead adalah bagaimana caranya agar terlihat rapih, necis, elegan,
namun pada saat yang sama juga terlihat keras, gahar, dan berandalan.
Hasilnya adalah sebuah dandanan yang benar-benar berbeda dengan para
Mods, setelan jas mahal di tinggalkan, sebagai gantinya mereka memilih
kaus kerah Fred Perry, kemeja Ben Sherman, Levi’s Staprest ataupun
Levi’s Jeans 501, sebagai pelengkap adalah bretel untuk menahan celana
agar tetap berada di atas pinggul, lalu jaket Harrington, jaket jeans
atau Crombie (sejenis jas panjang). Sepatu dansa digantikan dengan
Industrial Boots, sebelum akhirnya Boots bermerk Dr Martens keluar di
pasaran, dan menjadi pilihan yang lebih populer. Potongan rambut pun
semakin hari dicukur semakin pendek, dalam beberapa kasus bahkan hampir
botak sehingga orang-orang bisa melihat kulit kepala mereka di sela-sela
rambut mereka yang sangat pendek, dari sinilah muncul sebutan
‘Skinhead’. Begitu pula dengan para wanitanya, potongan rambut merekapun
sangatlah pendek, sebutan bagi potongan rambut seperti ini adalah
Feather cut (sangat pendek pada bagian atasnya namun di biarkan tetap
panjang pada bagian samping dan biasanya berponi pada bagian depannnya).
Sebagai kendaraan Scooter tetaplah populer layaknya di kalangan
Tradisional Mods, namun kini hal itu bukanlah lagi sebuah keharusan,
bagi Skinhead scooter hanyalah sebagai kendaraan untuk bepergian bukan
sebuah benda untuk di pamerkan pada teman-teman mereka, seperti di
kalangan Mods, (jadi, punya bagus, tidak punya ya tidak apa-apa).
Pakaian-pakaian itu menjadi pilihan mereka karena semua barang tersebut
harganya murah dan terjangkau oleh kantong anak-anak kelas pekerja saat
itu. Hal lain yang menjadi alasan pemilihan pakaian tersebut adalah
karena semua pakaian itu lebih cocok sebagai “seragam dinas perkelahian
di jalanan” ketimbang setelan jas ala Tradisional Mods, walaupun sepatu
dansa dan setelan jas tetap dipakai dalam beberapa kesempatan. Layaknya
Rude boy di Jamaika, kekerasan pun adalah hal yang sangat identik dengan
budaya Skinhead. Perkelahian jugalah yang menjadi alasan kenapa Boots
menjadi pilihan, terutama yang dilapisi baja pada ujungnya (Steel Toe),
sehingga bisa dijadikan senjata untuk mencederai lawan. Begitu jugalah
alasan kenapa potongan rambut “hampir botak” menjadi pilihan mereka,
yaitu agar rambut itu tak bisa dijambak saat bekelahi dengan musuh, dan
di era itu biasanya para laki-laki memelihara cambang, itu jugalah yang
dilakukan para Skinhead ini. Perkelahian inilah yang membuat reputasi
mereka buruk di kalangan masyarakat umum, Skinhead adalah berandalan
jalanan yang ditolak keberadaannya oleh masyarakat.
Pada akhir tahun 1968 jumlah para Hard Mods semakin banyak, seiring
semakin banyaknya anak-anak muda kelas pekerja yang menolak pola pikir
Mods tradisional. Gank-gank Hard Mods pun bermunculan di kota-kota
seperti London, Birmingham, Liverpool, New Castle dan Glasgow ( Gang nya
yang bernama Glasgow Spy Kids sangat terkenal hingga hari ini akan
reputasi kekerasannya ). Pada awalnya sebutan bagi mereka berbeda-beda
di setiap kota, yang paling umum adalah Clean Heads, Shave Heads, Spy
kids dan Peanuts (mengacu pada bunyi scooter yang dikendarai mereka). Di
tahun 1969 penolakan terhadap budaya Mods kelas menengah yang saat itu
sudah tercemar pola pikir generasi bunga pun semakin menjadi-jadi,
pemisahan antara tradisional Mods yang telah berevolusi jadi Hippies dan
Hard Mods / Skinhead pun tak terhindarkan lagi. Para Hippies yang
rata-rata kelas menengah inilah yang menjadi musuh utama para Skinhead.
Perkelahian yang berujung pada kekerasan ini terjadi di setiap
kesempatan mereka bertemu, namun yang paling besar terjadi di Bank
Holiday tahun 1968 dan 1969, di sinilah Skinhead menjadi perhatian media
untuk pertama kalinya.
Satu hal lagi yang membentuk budaya Skinhead adalah kerusuhan yang
terjadi di teras sepak bola. Inggris memang adalah sebuah negara dengan
budaya sepak bola yang kuat mengakar. Semenjak kemenangan Inggris di
Piala Dunia tahun 1966 sepak bola menjadi semakin menarik perhatian
anak-anak muda Inggris saat itu. Tradisi menonton sepak bola di akhir
pekan bersama para Ayah sedikit demi sedikit mulai menghilang, seiring
dengan pekerjaan paruh waktu yang banyak dilakukan anak-anak kelas
pekerja saat itu yang membuat mereka mempunyai uang sendiri untuk
membeli tiket masuk ke petandingan sepak bola. Kekerasan dan
Hooliganisme memang sudah membudaya di dunia persepakbolaan Inggris
selama berabad-abad sebelumnya, namun memasuki era 60-an hal itu semakin
terorganisasi. Para hooligans ini kebanyakan adalah para Hard Mods yang
tampil gahar dengan jeans dan sepatu boots seperti yang di paparkan di
atas. Hooliganisme terorganisasi atau lebih di kenal dengan sebutan
‘Firm / Mobs’ ini semakin mewabah di musim kompetisi 1968 – 1969. Saat
itu hampir semua tim wilayah selatan dan utara Inggris mempunyai gank
hooligan yang semua anggotanya adalah Skinhead. Mereka biasanya membuat
kerusuhan tak hanya di luar lapangan, tapi juga di dalam lapangan,
berkelahi dengan suporter lawan dan tentunya dengan polisi. Dalam waktu
singkat media seperti The Sunday Mirror, Suns dan The Football Mail
mengasosiasikan Skinhead dengan kerusuhan tersebut. Pada awalnya berita
tersebut biasa-biasa saja namun lama kelamaan pemberitaan itu semakin
berlebihan dan berat sebelah, menempatkan Skinhead sebagai terdakwa
tunggal bahkan jika kerusuhan tersebut bukan terjadi karena ulah mereka.
Perkelahian dan kerusuhan terjadi hampir di tiap pertandingan, terutama
di wilayah utara dimana sepak bola dan budaya Gank suporternya lebih
populer ketimbang berdansa di club malam seperti di selatan Inggris.
Perkelahian yang semakin sering terjadi membuat para Skinhead merasa
perlu untuk mempersenjatai diri. Boots kini di rasa tak lagi cukup, kini
mereka mempersenjatai diri dengan pisau belati atau pisau lipat yang
biasa di gunakan untuk mencukur rambut (Razor). Senjata tersebut bahkan
kemudian di gunakan dalam perkelahian melawan Hippes, Rockers, Greaser,
dan Hell Angels. Skinhead kini semakin identik dengan kenakalan remaja
bahkan kekerasan dan kejahatan serius, hal itu membuat mereka diwaspadai
keberedaannya oleh masyarakat terutama polisi. Berkelahi di jalanan,
membuat rusuh di teras sepak bola, memukuli Hippies, (bahkan) Mods di
Bank Holiday, ya… budaya baru ini benar-benar identik dengan kekerasan.
Tapi ada saat di mana mereka meninggalkan Ya…..!!! Hal berikutnya yang
membentuk budaya Skinhead yang berasal dari budaya Mods dan akan
dipegang teguh oleh para Skinhead sampai kapanpun adalah kecintaan
mereka kepada musik kulit hitam sperti RnB, Soul (keluaran Tamla, Stax
dan Motown ) dan musik Ska / Reggae asal Jamaika. Yang membedakan
Skinhead dengan Mods dalam hal musik yang di dengarkan adalah: Mods
memang sangat menyukai Soul dan Ska (mereka menyebutnya Bluebeat, nama
label yang merilis Prince Buster di Inggris ), namun hasrat utama mereka
adalah lagu-lagu dari The Who dan The Small Faces, sedangkan Skinhead
lebih suka mendengarkan musik Jamaika yang saat itu telah berevolusi
menjadi Reggae, ya….Skinhead sangat identik dengan musik Reggae. Kenapa
para Skinhead mengadopsi Reggae sebagai musiknya telah banyak di
perdebatkan saat ini. Teori pertama adalah hal itu disebabkan oleh para
Skinhead ini tinggal bertetangga dengan para imigran Jamaika sehingga
ada interaksi budaya di antara mereka, salah satunya adalah musik
Reggae. Hal tersebut menyebabkan para Skinhead ini terpengaruh oleh
budaya dan penampilan Rudeboy di Jamaika, termasuk celana yang
diperpendek atau digulung di atas mata kaki untuk memperlihatkan Boots 8
atau 10 lubang yang saat itu populer di kalangan para Skinhead. ‘Baik
Mods dan kemudian Skinhead sangat mencintai dan terinspirasi oleh budaya
Rude boy Jamaika, dan menggabungkannya dengan budaya kelas pekerja
Inggris untuk membentuk sebuah budaya baru yaitu budaya Skinhead’. Teori
kedua adalah hal ini disebabkan oleh warisan dari budaya Mods dan
terlebih lagi karena kepopuleran Ska yang semakin meningkat semenjak
lagu My Boy Lollypop (Millie Small) bertengger di posisi nomor 1 di
tangga lagu nasional Inggris pada tahun 1964. Teori ketiga adalah hal
ini disebabkan oleh harga piringan hitam Reggae yang saat itu murah,
sehingga mudah bagi para Skinhead untuk mendapatkannya. Namun teori yang
paling banyak di setujui adalah: pengadopsian Reggae sebagai musik
Skinhead saat itu di sebabkan oleh penolakan mereka terhadap musik
Progresif Rock ala band-band Woodstock seperti The Cream dan Jimmy
Hendrix yang di sukai oleh para Hippies, ya…. Skinhead adalah sebuah
budaya penolakan terhadap budaya Hippies yang cenderung kelas menengah.
Namun apapun alasannya, pada saat The Pioneers merilis Longshot Kick The
Bucket dan mencapai sukses di bulan oktober 1969, lalu disusul dengan
lagu Desmond Dekker yang bejudul Israelites yang meraih posisi pucak
pada akhir tahun 1969, Skinhead dan Reggae pun menjadi semakin identik,
dan munculah sebutan baru bagi genre musik ini: ‘Skinhead Reggae’. Namun
hal utama yang membuat Skinhead tertarik pada Reggae tentulah iramanya
yang riang dan mengajak tubuh secara alami untuk berdansa. Kenyataanya
lirik lagu tidaklah penting karena sedikit sekali Skinhead saat itu yang
mengerti bahasa ‘slang’ Jamaika yang digunakan dalam lagu-lagu Reggae.
Buktinya adalah: Israelites-nya Desmond Dekker boleh saja laku sebanyak 8
juta copy di seluruh dunia saat itu, tapi coba tanya apa isi dari
liriknya pada 10 orang Skinhead maka kau akan mendapatkan 10 jawaban
berbeda pula. ‘Dan itulah hal-hal yang membentuk Budaya ini, dari Gang
Hard Mods di jalanan dengan scooternya, Bootboys / Hooligans di teras
sepak bola, dan Rude boy di lantai dansa datanglah anak-anak kelas
pekerja bernama Skinhead….’
Musik Ska Jamaika memang sudah masuk ke Inggris semenjak awal dekade
60-an dan sempat populer di pertengahan dekade tersebut. Itu semua
berkat kepiawaian para promotor musik yang memboyong artis-artis Jamaika
ke Inggris seperti Christ Blackwell pemilik Island Records. Namun hal
yang terjadi pada Ska tersebut berbeda dengan hal yang terjadi pada
Reggae. Walaupun secara teori Reggae adalah ‘bentuk baru’ dari Ska, hal
tersebut tidaklah membuat Reggae langsung populer di Inggris. Pada awal
masuknya Reggae ke daratan Inggris di tahun 1968, stasiun-stasiun radio
dan media musik hampir tak memberikan dukungan pada Reggae. Kenyataanya
bahkan mereka mengkritisi Reggae sebagai musik yang masih mentah (Reggae
kadang-kadang hanya menggunakan 2 kunci gitar dan berdurasi 2 atau 3
menit, benar-benar kontras dengan Progresif Rock yang rumit dan
berdurasi 6 sampai 8 menit), lebih dari itu mereka menyebutnya sebagai
musik ‘yobbo (kasar dan Bodoh)’. Asosiasi Reggae dengan Skinhead pun
membuat musik ini dijauhi pasar mainstream. Akibatnya jika tak ada
publikasi dan pemberitaan di media tentu saja tak akan bisa masuk tangga
lagu dan sedikit sekali toko yang mau menjual piringan hitam
artis-artis Reggae seperti Bob Andy, Desmond Dekker dan Toots and The
Maytals. Saat itu Reggae hanya di putar di pub-pub dan club-club malam
seperti Ram Jam club, Golden star club, The Ska Bar, dll, yang sebagian
besar pengunjungnya adalah para Skinhead, yang segera mengadopsi musik
ini sebagai bagian terpenting dari budaya baru mereka. Namun seiring
semakin membesar dan mewabahnya budaya Skinhead di Inggris, maka Reggae
pun semakin populer, hal inilah yang mengantarkan lagu-lagu Reggae ke
puncak tangga lagu nasional, lalu tiba-tiba saja Reggae menjadi kesukaan
semua orang, bukan hanya Skinhead saja.
Perusahaan rekaman paling terkemuka yang memproduksi dan menyalurkan
rekaman piringan hitam Reggae saat itu adalah Trojan Recods. Perusahaan
ini didirikan oleh Island Records dan Beat and Commercial Company (B
& C) di tahun 1968. Tapi kemudian Christ Blackwell si pemilik Island
records menarik diri dari kepemilikan saham Trojan records, menyerahkan
seluruh perusahaan itu pada Lee Goptal pemilik B & C company yang
tadinya adalah seorang akuntan. Saingan utama dari Trojan records adalah
Pama records dan label-label yang disubsidinya yang merupakan milik
dari Harry Palmer dan dua orang saudaranya. Masing-masing label tersebut
mepunyai artis - artisnya sendiri - sendiri yang populer di kalangan
Skinhead saat itu. Di pihak Trojan ada artis-artis seperti: Desmond
Dekker, Judge Dread, Toots and The Maytals, Harry J allstars, The
Pioneers, The Maytones, Joe white, Clancy Ecccles, Symarips dan banyak
lagi, sedangkan di pihak Pama ada: Laurel Aitken, Derrick Morgan, Pat
kelly, The Marvels, Alton Ellis, The Upsetter dan banyak lagi.
Persaingan antara kedua label ini dimanfaatkan oleh produser - produser
Jamaika yang tidak jujur untuk menghasilkan uang lebih banyak, tak
jarang mereka teken kontrak dengan kedua label tersebut tanpa
sepengetahuan salah satu dari mereka. Namun persaingan ini di menangkan
oleh Trojan, dengan lebih dari 40 buah label yang disubsidinya, label
itu menguasai 80 % pasar musik Reggae saat itu. Pada akhir tahun 1969
Trojan merilis sebuah hits Reggae yang kelak menjadi sangat legendaris
dalam budaya Skinhead, yaitu Skinhead Moonstomp oleh Symarips (alias The
Pyramids). Skinhead Moonstomp ini kemudian bahkan menjadi semacam
standar bagi lagu - lagu Skinhead Reggae, padahal irama-nya adalah
jiplakan dari Moonhop-nya Derrick Morgan yang dirilis oleh Pama.
Terlepas dari hal tersebut Skinhead Moonstomp adalah lagu Reggae pertama
yang membahas Skinhead dalam liriknya, hal itu membuat Skinhead kini
seakan punya corong publikasi tersendiri, terlebih lagi hal itu membuat
semakin kuatnya hubungan emosional antara artis - artis Reggae Jamaika
dengan para Skinhead, anak kelas pekerja Inggris yang menjadi fans
utamanya. Skinhead Moonstomp kemudian disusul oleh lagu-lagu lain yang
menjadikan Skinhead sebagai objek bahasan dalam lirik, diantaranya
adalah Skinhead girl, Skinhead Jamboree ( The Symarips ), Skinhead
shuffle ( The Mohawk ), Skinhead Train ( Laurel Aitken ), Skinheads
don’t fear dan Skinhead Moondust ( The Hot Rod All stars ), Skinhead
Revolt ( Joe The Boss ), Skinhead a message to you ( Desmond Riley ),
Skinhead a Bash them ( Claudette and The Corporation ), dan masih banyak
lagi. Populernya Skinhead Reggae di Inggris saat itu bahkan kemudian
membuat Ska dan Rocksteady kembali populer di lantai-lantai dansa klub -
klub malam. Musik favorit lainnya di kalangan Skinhead saat itu adalah
musik Soul Amerika yang lebih di kenal dengan istilah ‘Northern Soul’
yang dirilis di bawah label Tamla Motown, Stax dan Atlantic Records.
Artis - artisnya antara lain adalah Martha Reeves and The Vandelas,
Smokey Robinson, Aretha Franklin, The Miracles, The Supremes, Ray
Charles, dll, yang sudah ngetop semenjak awal dekade 60-an. Tidak
seperti Reggae, Soul mendapatkan dukungan publikasi penuh dari media,
sehingga lebih populer di kalangan umum, namun Reggae tetaplah musik
nomor satu bagi para Skinhead. Bahkan di awal tahun 1970 diadakan
Carribean Music Festivals yang di hadiri 9000 penonton, disusul dengan
The UK Reggae Tour yang menampilkan The Upsetter, The Pioneers, Jimmy
Cliff, Harry J Allstars, Desmond Dekker, Max Romeo, dll, yang
berkeliling Inggris selama 4 minggu. Klub - klub kenamaan di London pun
secara reguler menampilkan artis - artis Jamaika. Reggae benar - benar
populer saat itu, dan fans fanatiknya adalah Skinhead, bahkan tak
sedikit dari mereka yang menjadi kolektor serius musik Jamaika. Beberapa
di antara mereka bahkan menjadi DJ Reggae dan memulai bisnis sound
systemnya sendiri. Bahkan ada semacam peraturan tak tertulis saat itu,
yaitu semakin banyak koleksi yang dimiliki seorang Skinhead maka ia akan
semakin dihormati, tak heran Skinhead saat itu menghabiskan sebagian
besar uangnya untuk membeli piringan hitam Reggae.
Memasuki era 70-an budaya Skinhead menjadi semakin besar dan semakin
jauh meninggalkan ‘bapaknya’ para Mods. Budaya ini semakin identik
dengan kekerasan, seiring dengan pemberitaan di media massa yang semakin
hari semakin memojokkan mereka. Saat itu semakin banyak anak-anak muda
yang bergabung dengan budaya ini, sayangnya mereka terpengaruh dengan
reputasi Skinhead yang dibentuk oleh media, sehingga mereka kira
Skinhead hanyalah tentang kekerasan, rusuh di stadion sepak bola dan
memukuli siapapun yang tidak mereka sukai. Kelak reputasi kekerasan ini
semakin diperparah dengan turut campurnya kekuatan politik sayap kanan
yang menyusupi budaya Skinhead. Semenjak tahun 1971 musik Reggae di
Jamaika sendiri berubah seiring dengan merebaknya paham Rastafarian
(sebuah paham yang mengajarkan bahwa Ras kulit hitam di luar Afrika
harus kembali ke Afrika, Tanah yang dijanjikan bagi mereka) di negeri
itu. Reggae tiba-tiba adalah tentang Zion, Jah, Babylon, dan semua hal
berbau afrika, tak ada lagi lagu-lagu tentang para Skinhead di daratan
Inggris, hal ini tentu saja seakan memutus hubungan emosional antara
Jamaika dan budaya Skinhead. Musik soul sendiri kini telah berevolusi
sedemikian rupa menjadi musik Disco, membuat Skinhead semakin kehilangan
jati dirinya. Kini hanya tinggal kekerasan sajalah yang menjadi
identitas budaya ini, tiba-tiba saja kau adalah orang yang bersalah di
mata masyarakat jika kau adalah seorang Skinhead. Hal ini membuat para
Skinhead yang lebih tua dan merupakan pelopor budaya ini semakin muak
dengan keadaan saat itu. Semakin kau tua maka kau semakin dewasa dan tak
mau lagi melakukan hal-hal bodoh seperti berkelahi di jalanan tanpa
tujuan yang jelas. Memasuki tahun 1972 budaya Skinhead semakin
kehilangan arahnya, tapi budaya ini tidaklah musnah atau hilang begitu
saja layaknya sebuah trend, kenyataanya budaya Skinhead terus berkembang
seiring lahirnya generasi baru budaya ini…..cerita ini pun berlanjut
dengan para tokoh yang merupakan ‘anak-anak’ dari budaya Skinhead yang
bernama: Suedehead, Smoothies, Bootboys, dan Clockwork Skinhead………,,
Terlepas dari sebuah ketetapan hati bahwa menjadi Skinhead adalah
‘kontrak seumur hidup’, namun pada kenyataannya akan tiba waktu dimana
setiap Skinhead meninggalkan Jeans dan Levi’s Stapress, kemeja Ben
Sherman, Bretel (suspender) dan Dr Marten Boots-nya. Itulah kenyataan
hidup yang harus kau hadapi, kau tak bisa lagi bergaya seperti seorang
berandalan jalanan saat umurmu mendekati 30 tahun bahkan lebih, karena
kehidupanmu harus terus berlanjut ketingkatan yang lebih tinggi,
bekerja, menikah dan mempunyai anak-anak yang harus kau hidupi. Apalagi
jika penampilan tersebut mulai mengganggu kehidupan sosialmu, ‘terima
kasih pada Media yang telah dengan suksesnya membunuh karakter budaya
Skinhead’. Di awal dekade 70-an jangan harap kau dapat pekerjaan jika
orang - orang tahu kalau kau adalah seorang Skinhead, kau akan segera
ditolak jika datang melamar pekerjaan dengan memakai ‘seragam’
Skinhead-mu, kalaupun jika kau mendapatkan pekerjaan itu, maka mereka
menyuruhmu untuk menumbuhkan rambutmu. Skinhead benar - benar sesosok
mahluk yang ditolak keberadaannya saat itu, dan ‘Media adalah dalang di
balik semua ini, mereka dengan sukses membentuk anggapan bahwa Skinhead
tak lebih dari sekedar Gangster botak yang kejam, tak berperasaan dan
tak berotak’. Seorang Skinhead tanpa alasan yang tepat bisa saja
ditangkap polisi bahkan ketika dia sedang duduk-duduk di taman, sedang
minum bir di pub, atau saat membeli tiket pertandingan sepak bola. Hidup
benar - benar berat bagi mereka saat itu, mereka adalah kaum terbuang
dari masyarakat yang munafik.
Yah….. sering kali dalam hidup ini kita harus berurusan dengan hal-hal
yang kita benci, tapi kita harus melakukannya jika ingin bertahan hidup.
Hal itulah yang terjadi dengan para Skinhead di awal tahun1970-an, di
satu sisi mereka cinta dengan budaya yang ‘mengontrak’ mereka seumur
hidup, namun di sisi lain hidup mereka pun harus terus berlanjut, mereka
tak bisa selamanya hidup di bawah ketiak Ayah dan Ibunya, prioritas
hidup mereka kini telah berubah. Akibat dari keadaan tersebut adalah:
memasuki tahun 1970 banyak Skinhead yang menumbuhkan rambutnya menjadi
sedikit lebih panjang agar tidak dikenali orang-orang awam sebagai
seorang Skinhead, hooligans, bovver boys atau sebutan apapun yang
berkonotasi negatif. Setelan jas yang tadinya hanya dipakai pada
kesempatan tertentu kini dipakai hampir setiap hari. Pakaian menjadi
sedikit lebih kalem, bahkan sepintas seperti Mods. Levi’s sta-press,
kaus Fred Perry, kemeja Ben Sherman, jaket Harrington, bahkan crombie
kini semakin populer dipakai, di kemudian hari bahkan muncul sebuah
sebutan baru yang menjadi sub-budaya Skinhead bernama Crombie boys.
Sepatu loafers terkadang di pakai sebagai ganti Boots yang berkonotasi
negatif (saat itu jika kau memakai boots maka kau diidentikkan dengan
orang-orang yang melakukan kekerasan diteras sepakbola). Lalu muncullah
sebutan baru bagi mereka, sosok Skinhead yang lebih kalem: ‘Suedehead’,
sebuah nama yang mengacu pada rambut mereka yang lebih panjang dari pada
Skinhead pada umumnya (tak terlalu panjang, hanya sampai bisa disisir
rapih, biasanya disisir belah pinggir). Para Skinhead girl yang lebih
dkenal sebagai Chelsea pun ikutan memanjangkan rambutnya, mereka
meninggalkan potongan feather cut dan menata rambutnya menjadi lebih
feminim lagi. Apakah sebuah budaya baru telah lahir…?? Tidak juga…!!
Karena semenjak awal perkembangan budaya Skinhead sudah ada sekelompok
Skinhead yang berpenampilan seperti Suedehead. Lagi pula ada hal yang
lebih penting daripada pakaian yang dapat dengan mudah dibeli, hal itu
adalah pola pikir dan nilai - nilai dasar budaya Skinhead yang tak
pernah ditinggalkan oleh para Suedehead ini. Tidak seperti ketika Mods
berevolusi menjadi Skinhead di akhir 60-an dulu yang disebabkan oleh
masalah kelas dan ekonomi sehingga mengakibatkan perubahan pola pikir,
perubahan dari Skinhead menjadi Suedehead sama sekali tak melibatkan
masalah ekonomi dan kelas. Perubahan itu lebih disebabkan oleh tekanan
dari media dan masyarakat, bahkan lebih kepada masalah fashion saja.
Buktinya tingkah laku berandalan mereka tidaklah hilang sama sekali,
mereka tetaplah keras, pemberani dan doyan berkelahi. Kebiasaan membawa
senjata tajam ke teras sepak bola pun tetap mereka pelihara, bahkan kini
mereka membawa payung yang ditajamkan ujungnya sebagai senjata (jadi
bukan sebagai pelindung di kala hujan), yah….Sekali petarung jalanan,
selamanya petarung jalanan, bukti bahwa hal itu adalah kontrak seumur
hidup.
Memasuki tahun 1971 bahkan para Suedehead mulai memanjangkan rambutnya
menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Potongan rambut ini hampir
seperti potongan rambut orang kebanyakan, biasanya pendek di bagian atas
dan sedikit panjang di bagian samping dan belakangnya (mirip potongan
feather cut tapi tak se-ekstrim itu). Lalu sebutan baru pun muncul bagi
mereka: Smoothy, yang mengacu pada model rambut baru mereka. Pakaian
yang dikenakan pun kini berubah, para Smoothy berdandan lebih kasual
ketimbang Suedehead ataupun Skinhead. Mereka biasanya memakai kaus tak
berkerah dan kemeja, namun Ben Sherman bukanlah lagi pilihan yang
populer, celana bahan biasa, jumpers, dan yang paling penting tentu saja
Crombie. Boots kini hampir - hampir ditinggalkan sama sekali, sebagai
gantinya adalah sepatu kasual yang biasa dipakai pekerja kantoran, namun
pada beberapa kesempatan Boots tetap di pakai. Para wanita Smoothy pun
mempunyai sebutan tersendiri, yaitu: Sorts, Skinhead memang sebuah
budaya yang lebih berorientasi laki-laki, namun dalam perkembangannya
para Skinhead girl pun mengembangkan cara berpakaiannya sendiri yang
cukup unik. Para Sort ini berambut lebih panjang dari pada Skinhead
ataupun Suedehead girl, mereka memakai kemeja Brutus, rok pendek yang
lebar di bagian bawahnya, dan sepatu Ravel (sejenis sepatu Beebop yang
biasa dipakai perawat). Bagi kebanyakan orang para Smoothy berpenampilan
‘normal’ layaknya mereka, bahkan mata rantai hubungan mereka dengan
budaya Skinhead hampir - hampir hilang sama sekali, hal itulah yang
membuat mereka tak terlalu populer dan menghilang seiring dengan
masuknya budaya Punk ke Inggris.
Para Smoothy sebenarnya mempunyai ‘saudara kembar tak identik’, yaitu
para Bootboys. Bootboys termasuk budaya yang mampu bertahan dan memasuki
era 70-an dengan selamat. Kekerasan di teras sepak bola mencapai level
tertingginya selama musim kompetisi 1970-1971 dan terus berlanjut di
musim kompetisi 1971-1972, inilah yang menandai kembalinya budaya
Bootboys setelah sempat hilang ditelan histeria budaya Skinhead tahun
1969 lalu. Dalam hal penampilan luar Bootboys ini memang mirip para
Smoothy terutama dalam hal penampilannya yang kasual. Hal yang
membedakannya dengan Smoothy adalah para Bootboys ini mewakili
penampilan teras sepak bola yang keras dan gahar, sementara Smoothy
penampilannya lebih ‘resmi’ dan mewakili kehidupan klub - klub malam di
Inggris. Terlebih lagi Smoothy dan Suedehead adalah budaya yang lebih
banyak berkembang di selatan Inggris, sedangkan Bootboys adalah budaya
yang berkembang di utara Inggris di mana sepak bola lebih populer
daripada musik Reggae dan Soul. Musik dan fashion memang menjadi nomor
dua dalam hidup seorang Bootboys, nomor satu tentunya adalah sepak bola
dan kehidupan Gank. Kalaulah ada barang yang wajib dipakai oleh seorang
Bootboy, maka sepasang Dr Marten Boot lah itu, sedangkan celana dan baju
tidak menjadi masalah. Reggae dan soul tetap populer di sebagian mereka
sedangkan sebagian lagi memilih mendengarkan musik apapun yang saat itu
populer termasuk Glam Rock yang merupakan pengembangan dari Progresif
Rock-nya para hippies. Kebanyakan Bootboys ini pada kenyataannya ‘pernah
menjadi’ Skinhead, walaupun tak melewati fase perkembangan Suedehead
dan Smoothy. Memasuki tahun 1972-1974 terlepas dari Boots dan kebiasaan
berkelahi di teras sepak bola, budaya Bootboys ini mempunyai sedikit
sekali hubungan dengan Skinhead, kelak kedua budaya ini rujuk kembali
bersamaan dengan munculnya Punk generasi baru yang lebih di kenal dengan
sebutan Oi! / Street Punk. Namun semua perkembangan budaya yang sudah
di jelaskan di atas tadi tidaklah sama di semua kota di daratan Inggris,
contohnya di beberapa tempat sudah mengalami fase Smoothy pada
pertengahan 1970, sementara di tempat lainnya tak melewati fase Skinhead
sampai 1975. Umumnya bahkan terjadi percampuran fashion dari
masing-masing fase, artinya Skinhead, Suedehead, Smoothy dan Bootboys
bahkan Mods pada saat yang sama.
Jika ada Skinhead yang sangat terkenal popularitasnya di era 70-an
(bahkan hingga hari ini), maka Joe Hawkins-lah orangnya. Joe adalah
seorang Skinhead seutuhnya, ia berdandan rapih, keras, menyukai Reggae
(kemudian Oi! dan Street Punk), dan gemar mematahkan tulang rusuk para
Hippies dengan sepatu bootsnya. Sayangnya Joe tidaklah nyata, ia adalah
tokoh khayalan dari seorang pengarang novel bernama Richard Allen. Novel
berjudul Skinhead tersebut diterbitkan pada tahun 1970, dan langsung
mendapatkan perhatian nasional bahkan termasuk dalam daftar 10 buku
terlaris saat itu karena isinya yang eksplisit menggambarkan kehidupan
Joe yang brutal dan penuh kekerasan, sebuah kenyataan yang sebenarnya
dialami para Skinhead. Kesuksesan novel Skinhead ini segera disusul oleh
novel - novel berikutnya dimana Joe tetap menjadi tokoh utamanya,
yaitu: Suedehead, Smoothies, Bootboys, Terrace Warrior, Punk Rock, Mod
Rule, Skinhead Girl, Skinhead Escape, Troubble For Skinhead, Sorts, Top
Gear Skins, Skinhead Farewell, Glam, Terrace Teror, Knuckle Girls, dan
Dragon Skins. Tahun 1970 terbit sebuah film berjudul Clockwork Orange
yang di sutradarai oleh Stanley Kubricks. Film ini menceritakan seorang
pemuda bernama Alex, seorang pemimpin gank yang terobsesi berbuat
kekerasan, memukuli orang tanpa alasan yang jelas dan memperkosa bahkan
membunuh. Di film itu Alex dan gank-nya berdandan ala seorang petarung
jalanan: Riasan berupa bulu mata palsu di mata sebelah kanan (atau
kadang-kadang memakai topeng badut), baju dan celana putih, payung yang
ditajamkan ujungnya, dan di lengkapi dengan pelindung yang dipakai
petinju untuk melindungi organ vitalnya, dan yang paling penting tentu
saja sebuah topi Bowler.Yang membuat Alex mirip dengan Skinhead adalah
sepatu Bootsnya, ditambah dengan tindakan Alex dan gank nya yang khas
para Skinhead, benar - benar sebuah penampilan dan tingkah laku
Horor…!!! Terlepas dari film ini sangatlah kontroversial dan dilarang
peredarannya, kenyataannya Clockwork Orange menginspirasi sekelompok
kecil Skinhead. Mereka mulai berdandan ala Alex dan gank nya, melakukan
kekerasan ekstrim, dan sebuah sub - budaya baru dari budaya Skinhead pun
lahir: Clockwork Skinhead. Film ini kelak juga menginspirasi lagu-lagu
beberapa band Oi! dan street punk seperti The 4 Skins, The Violators,
The Last Resorts, Angelic Upstart, Major Accident dan yang paling
legendaris The Addicts.
Era ini juga adalah untuk pertama kalinya muncul ‘Band Skinhead’ bernama
Slade. Masih diperdebatkan sampai saat ini apakah para anggota Slade
adalah benar - benar Skinhead atau bukan, namun kenyataannya saat itu
mereka berdandan layaknya seorang Skinhead. Sayangnya memasuki tahun
1971 Slade berubah menjadi band Glam rock dengan rambut gondrongnya,
tapi tak dapat dipungkiri kalau band ini adalah band yang sangat
berpengaruh pada band favorit Skinhead sepanjang masa, Cock Sparrer.
Mereka kembali dihubungkan dengan Skinhead saat mereka main di Great
British Music Festivals 1978 saat terjadi perkelahian antara Mods dan
Skinhead ketika The Jam naik ke panggung dan berakhir dengan insiden
penikaman seorang Mods oleh seorang Skinhead. Memasuki pertengahan tahun
1975, Skinhead benar - benar hampir hilang dari daratan Inggris,
seiring dengan menjauhnya Reggae dan Soul dari kehidupan anak-anak kelas
pekerja Inggris. Kini tinggallah para Bootboys yang mengadopsi musik
para Hippies seperti Glam rock ala Slade dan Mott The Hoople sebagai
budayanya. Pada tahun yang sama Judge Dread merilis lagu Bring Back The
Skins dalam albumnya yang paling legendaris Last of The Skinhead. Lirik
di lagu itu yang seakan bernostalgia pada masa - masa keemasan Skinhead
di tahun 1969 dulu, tak lama lagi akan menjadi kenyataan. Anak - anak
kelas pekerja yang keras dan menguasai jalan - jalan di se-antero
Inggris kembali lagi, kali ini dengan penampilan baru, namun tetap
dengan semangat yang sama, semangat Jalanan. Ya… Skinhead kembali lagi,
kali ini dengan sebuah pergerakan musik baru bernama Street Punk…,,
And the story will be continued…,,