
Match Fixing
Maaf rekan-rekan, saya kembali
mengangkat tulisan yang kembali lagi menyoal sejarah kelam dalam sepak
bola nasional. Saya minta maaf karena mungkin tidak terlihat kreatif
karena hampir 50% artikel saya terkait sepak bola nasional selalu
bersinggungan dengan skandal suap senayan. Baik itu menyoal catatan saya
tentang Ramang, Pogacnik atau Timnas jaman dulu.
Alasannya hanya satu, saya begitu penasaran. Ini menjadi kebiasaan yang sudah begitu lama terjadi namun seperti semua stake holder
persepak bolaan nasional tutup mata atas kejadian tersebut. Mana pernah
anda melihat PSSI serius menangani hal ini ? Kasus terakhir yang bisa
menjadi rujukan terjadi ketika melibatkan PSMS Medan dalam menjalani
roda kompetisi Divisi Satu musim 2010/11. PSMS Medan yang hendak
melakoni laga tandang melawan PS Bengkulu diperintahkan oleh pengurusnya
untuk mengalah karena telah mendapatkan uang suap dari bandar judi yang
konon berasal dari Malaysia.
Pelatih dan para pemain menolak
melakukannya, adapun hasilnya hampir semua pemain tertunggak gajinya dan
sempat luntang-lantung hidup tanpa gaji. Pihak yang terlibat dalam suap
diantaranya Sarwono sebagai manajer PSMS, Saryono pengurus PSMS dan
Heru Pramono sebagai CEO PSMS. Berita terakhir saya mendengar komdis
PSSI menghukum ketiga mantan pengurus PSMS Medan tersebut dengan sanksi
larangan terlibat dalam sepak bola seumur hidup.
Hukuman yang tegas ? ya, tapi anda harus
tahu, kasus ini baru mendapat perhatian ketika para pemain ramai-ramai
menggugat dan diangkat oleh media massa. Baru tahun 2013 sanksi tersebut
diberikan dan gaji para pemain dilunasi. Pengurus PSMS pun sebenarnya
setali tiga uang.
Bahkan sebelumnya pengurus PSMS sendiri
yang menyatakan kasus ini ditutup tahun 2011 lalu sebelum akhirnya
dibuka kembali 2 tahun kemudian. Menjawab hal ini, sekretaris umum PSMS,
Idris, mengatakan, keputusan membuka kembali kasus ini karena
ditemukannya bukti baru tahun 2013 lalu.
Sekretaris umum PSMS, Idris, mengatakan, keputusan membuka kembali kasus ini karena ditemukannya bukti baru. “Saat
pembubaran tim memang kita bilang tidak ada suap, namun ada catatan
kalau kasus ini akan dibuka kembali, jika ada temuan. Kami menemukan
bukti baru ketika 23 Juli lalu, ada pemain yang melapor dan memperkuat
dugaan suap itu,” ujarnya.
Sedikit lucu sebenarnya karena saksi
mata dan korban masih hidup semua, yaitu pelatih dan pemain PSMS Medan
musim 2011, mereka pun sudah melaporkan kasus tersebut sejak lama. PSSI
toh seperti diam saja mendengarnya sebelum pengurus PSMS dan KONI
kembali mengangkatnya. Intinya apa ? PSSI memang masih loyo untuk urusan
seperti ini. Lalu sampai kapan kasus suap-menyuap akan berulang
terus-menerus jika keseriusan lembaga penaung dipertanyakan ?
Inilah faktanya, itulah mengapa saya
begitu penasaran tentang bagaimana sih sebenarnya kasus suap pemain
dalam skandal senayan 50 tahun lalu yang begitu menghebohkan. Kasus
tersebut seperti antara nyata dan tidak. Hukuman memang ada dan sudah
dijatuhkan namun bukan oleh PSSI. Sehingga dalam catatan PSSI kasus ini
sebenarnya tak pernah terjadi atauu tepatnya dipaksakan terjadi.
Untuk itulah anda harus membaca catatan saya berikut.
Menjangkiti Dunia
Kita sebenarnya patut bergidik soal ini.
Pengaturan pertandingan bukanlah penyakit lokal yang akut dan hanya
terjadi di negara kita Indonesia. Anda harus tahu, ini adalah penyakit
internasional. Banyak bukti dan telah banyak yang melakukan penelitian
mendalam tentang pengaturan skor oleh pihak bandar.
Salah satunya adalah Hill Declan yang
telah melakukan riset mendalam tentang perilaku hina dalam seluruh olah
raga ini. Melalui riset itulah dia kemudian mendapatkan fakta-fakta
menarik dari pengaturan pertandingan, kasus suap, hingga judi bola.
Mulai dari Eropa, bahkan hingga pelosok Asia Tenggara (kasusu PSMS Medan
buktinya). Bahkan dia menyebut Indonesia beberapa kali di dalam
bukunya, tapi tidak pernah menceritakan mengenai kasus pengaturan
pertandingan di Indonesia.
Kasus pengaturan pertandingan sendiri mulai mencuat ke permukaan
sekitar Februari silam. Interpol mengeluarkan nama Dan Tan, seorang
berkebangsaan Singapura, sebagai tersangka pengaturan pertandingan
sepakbola secara global.
BBC melansir, 30 negara dan hampir 700 pertandingan diselidiki oleh Interpol.

Europol
“
Saya menulis yang sebenarnya. Saya menulis fakta. Sebagai
jurnalis, Anda dan saya tahu bahwa ada dua macam fakta: fakta yang kita
ketahui dan fakta yang bisa kita tulis di dalam buku dan diterbitkan.
Dan saya harus memaku diri pada fakta kedua,” kata Hill.
Pria berkebangsaan Kanada itu kemudian menjelaskan alasan mengapa
kasus pengaturan pertandingan adalah sesuatu yang mewabah dan berbahaya.
Salah satu yang mengkhawatirkan adalah bagaimana wabah tersebut bisa
membuat penggemar sepakbola jadi malas menyaksikan pertandingan.
“Dan begitu orang-orang berpikir bahwa pertandingan sudah disuap, mereka akan mulai malas menyaksikan sepakbola,” paparnya.
Yang menarik, di dalam bukunya Hill menyebut bahwa salah satu
match-fixer berasal dari Indonesia. Sang
match-fixer
memberikan statemen kepada Hill bagaimana cara mereka memberikan sinyal
kepada pemain yang sudah disuap. Hill, dalam wawancara semalam, mengaku
masih ingat dengan jelas wajah orang Indonesia itu.
Beberapa dari kita mungkin ada yang tahu dan masih mengingatnya,
ketika publik sepakbola dunia dihebohkan oleh terungkapnya sebuah
jaringan pengaturan pertandingan global yang berbasis di Singapura.
Sindikat ini bahkan sampai menghantui Eropa yang terlihat sangat
profesional dalam olah raga. Semua kalangan sepakat, meski beragam cara
dilakukan, penghapusan
match-fixing nyaris tak mungkin dilakukan dan semua negara berpotensi untuk kecolongan.
Kepolisian Uni Eropa (Europol) berhasil
mengungkap sebuah jaringan pengaturan pertandingan global yang mencakup
beberapa negara di seluruh dunia tahun 2013 lalu. Dari hasil
penyelidikan tersebut, bahkan pertandingan di Liga Champions dan
Kualifikasi Piala Dunia berhasil disusupi.
Sebanyak 680 pertandingan yang dicurigai
terlibat dalam pengaturan pertandingan itu melibatkan laga-laga dari
turnamen besar dunia baik level tim nasional maupun tingkat klub.
Skandal ini terungkap berkat penyelidikan yang dilakukan oleh Satuan
kepolisian Uni Eropa, atau yang dikenal dengan Europol.
Pertandingan-pertandingan yang dicurigai
melibatkan aktivitas kriminal dimulai dari tahun 2008 sampai 2011. Dari
680 pertandingan, sekitar 380 di antaranya dicurigai merupakan laga di
kompetisi Eropa, sementara 300 lainnya teridentifikasi di Afrika, Asia
dan Amerika Latin. Luar biasa !
Bukan cuma pemain yang diketahui
terlibat. Wasit dan asosiasi sepakbola juga disebut menjadi bagian dari
jaringan tersebut. Diklaim Put, tak sedikit pemain internasional
terlibat dalam pengaturan pertandingan itu.
Demikian diungkapkan oleh pelatih tim
nasional Burkina Faso, Paul Put. Di tahun 2005 karir sepakbola Put
tercoreng karena dia terlibat pengaturan pertandingan saat masih
memperkuat klub Lierse di Liga Belgia, di mana dia menjadi bagian dari
sebuah jaringan yang bermarkas di China.
“Pengaturan pertandingan akan selalu
ada di sepakbola. Jika Anda melihat di cabang bersepeda, seperti Lance
Armstrong, fokusnya hanya dia yang memakai obar-obatan padahal semua
memakai obat-obatan itu,” sahut Put.
“Saat saya bermain sepakbola saya
melihat banyak hal. Saya tak berpikir Anda bisa mengubahnya. Itu
disayangkan tapi saya pikir di setiap olahraga Anda harus menghadapi
kondisi seperti itu,” lanjutnya seperti diberitakan Reuters.
“Anda harus melihat apa yang terjadi
di sepakbola. Ada banyak pemain internasional yang terlibat dalam
pengaturan pertandingan. Saya pikir kondisinya malah lebih parah
dibanding masa lalu,” lanjutnya.
Pengakuan Mantan Pemain Timnas
Sebenarnya, “Skandal Senayan” jika
dikaji lebih dalam adalah drama yang penuh intrik dengan alur plot yang
sudah diatur sedemikian mungkin oleh profesional. Para bandar dan
pengatur skor (match-fixer) dengan canggih memberi tawaran yang tak mungkin bisa ditolak oleh para pemain.
Declan Hill, dalam bukunya yang kontroversial The Fix: Soccer and Organize Crime, menyebut bahwa fixer
yang hebat umumnya adalah manusia yang cerdas dan pandai membaca
psikologi manusia. Kemampuan membaca psikologi ini dibutuhkan untuk
memahami titik lemah pemain yang akan disuap. Sekali saja fixer bisa menemukan titik lemah itu (entah ekonomi, perempuan atau drugs), maka sukar bagi pemain untuk menghindar.

Declan Hill
Pada buku yang sama Hill juga menyebut
bahwa banyak pemain yang kena suap fixer umumnya adalah pemain yang
banyak berusia di atas 26 tahun (usia di mana pemain banyak yang sudah
menikah) dan dari situlah daftar kebutuhan hidup keluarga pun meningkat.
Inilah yang disebut sebagai titik lemah ekonomi dan mayoritas alasan
yang melatar belakangi lunturnya semangat fair play dalam sepak bola.
Kepada harian Pikiran Rakyat
tahun 2006, salah seorang pelaku skandal Senayan 1962, Wowo Sunaryo,
mengakui hal itu. Baginya, skandal Senayan 1962 sangat lekat kaitannya
dengan faktor ekonomi. “Honor memperkuat tim Indonesia saat itu
hanya cukup untuk biaya perjalanan Bandung-Jakarta. Kalau ada sisa,
hanya bisa untuk membeli dua telur atau sabun. Keluarga sering
ditinggalkan. Mereka juga butuh makan. Karena keadaan ekonomi, kami
terpaksa melakukan itu,” ujar pemain yang menjadi goal-getter andalan Toni Pogacnik ini.
Wowo yang total mencetak 23 gol dalam
tur Eropa dan Asian Games 1958 (saat itu Indonesia meraih posisi ketiga)
menceritakan bagaimana fixer bekerja mengatur dirinya. Pada suatu sore
di rumah kontrakannya di daerah Mayestik, Jakarta Selatan, muncul
seorang tamu, lelaki Cina, berusia sekitar 50 tahun, penghubung kaum
penjudi, yang meminta ia “bermain” dalam pertandingan melawan
Yugoslavia.
“Seperti digoda setan, saya terperangkap. Saya terpaksa menerimanya karena kondisi keluarga,” kata Wowo seperti dilaporkan majalah Tempo edisi 14 Juli 1979.
Memang selalu ada alasan bagi pemain
yang bersedia menjadi bagian dari sindikat pengaturan skor. Dan di masa
itu, suap bukanlah barang aneh. Raden Ading Affandi, jurnalis yang
pernah menjadi pengurus Persib, mengakui bahwa klub-klub di Indonesia
saat itu sudah jamak menerima surat gelap yang melaporkan para pemain
yang disuap.
Lain Wowo, lain pula Rukma Sudjana.
Rukma adalah kapten timnas kala itu, menerima ban kapten dari pemain
Persib lainnya, Aang Witarsa. Dia salah satu pemain kunci dalam skema
rancangan Pogacnik, baik saat memperkuat Indonesia di Olimpiade 1956
maupun sesudahnya. Posisinya juga vital, sebagai center-half, gelandang tengah, atau poros-halang dalam skema WM.
Saat penulis menemuinya belum lama ini,
ia menuturkan pola pendekatan para “Bandar” sama seperti yang pernah
saya tulis dalam artikel sebelumnya. Ia menceritakan, terkadang para
bandar ini selalu datang ke mess PSSI di Jalan Mendayung, Senayan,
sambil membawa barang bawaan. “Kadang-kadang buah, kadang-kadang pakaian atau barang, pemain menerimanya begitu saja karena tak tahu apa-apa,” katanya.
Lewat pengakuan Rukma pulalah terkuak
bahwa di masa itu, sudah jamak pemain ikut bertaruh judi toto. Judi toto
yang dimulai pada 1950an ini memang sangat mempengaruhi mentalitas
pemain di masa itu. Bisa dibayangkan apa jadinya jika seorang kiper ikut
bertaruh judi toto.
Kepada penulis, Rukma mengakui bahwa para tauke
(bandar) ini pun kerap mengatur kemenangan-kemenangan timnas.
Terkandang mereka meminta para pemain untuk menang besar atau kecil.
Dalam kenyataanya, Tauke tak selalu meminta tim yang dimainkannya kalah.
Seri atau menang pun tak apa, asal hasinya mampu menguntungkan mereka.
Seperti kasus Ramang saat Persebaya vs
PSM Makassar di tahun 1961. PSM yang semula unggul 3-1 dan sebenarnya
mampu mencetak gol lebih banyak lagi, malah tumpul di babak kedua dan
kemasukan 2 gol, sehingga skor menjadi 3-3.
Sama halnya pengakuan Wowo, Rukma juga
mengakui bahwa godaan terbesar yang membuat pemain era itu mudah
terjebak pengaturan skor adalah penghasilan sebagai pemain yang masih
sangat minim di masa itu. Jika Wowo mengumpamakan penghasilan di timnas
itu hanya sebesar ongkos Bandung-Jakarta pulang pergi, Rukma malah
menyebut “hanya cukup untuk membeli semangkuk bakso”.
Ketika itu PSSI memberikan Rp 25/hari
bagi setiap pemain (itupun ketika dipanggil saja). Angka itu memang
tidak seberapa jika menengok angka yang disodorkan oleh para bandar judi
dan pengatur skor. Seperti dilaporkan Tempo, uang yang
disodorkan bandar untuk laga melawan Yugoslavia Selection yang
berkesudahan 2-3 (laga ini oleh pengadilan disebut sebagai salah satu
laga yang diatur) masing-masing pihak pemain yang terlibat mendapatkan
uang sebesar Rp. 25.000.
Itu jelas angka yang luar biasa. Tidak
usah dibandingkan dengan uang saku Rp 25 per hari yang diterima pemain,
bandingkan saja dengan gaji pegawai saat itu. Jika membaca Peraturan
Pemerintah No. 14 tahun 1962, tertulis bahwa gaji tertinggi pegawai
negeri adalah 4 ribu rupiah. Jadi, dalam satu laga saja, pemain bisa
menerima 6 kali gaji pegawai negeri dari pangkat yang paling tinggi
sekalipun.
Rukma juga menjelaskan bagaimana pola
hubungan antara pemain dan para pengatur skor. Menurutnya, hubungan
dengan para bandar bisa dilakukan dengan berbagai jalan, di antaranya:
berhubungan langsung dengan pemain, memakai perantara makelar, atau
menggunakan pemain senior yang sudah makan asam garam memakan uang haram
guna membujuk para pemain yang lebih muda untuk ikut terlibat.
Menilik pengakuan Rukma itu, maka benarlah yang dikatakan Declan Hill dalam bukunya The Fix: Soccer and Organize Crime.
Hill juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Jika Rukma menggunakan
istilah “makelar” untuk para perantara, Eropa mengenalnya dengan
istilah “fixer”.
Rukma sendiri menyangkal jika dianggap
setiap pertandingan di era itu sudah diatur oleh mafia pengaturan skor.
Dengan meyakinkan, Rukma mengatakan: “Kita memang pernah main dengan bandar, tapi kita main untuk bisa menang.”
Terkait Skandal Senayan 1962, Rukma
mengatakan bahwa dia dan rekan-rekannya yang kena skorsing sangat kecewa
dan merasa ditumbalkan oleh pengurus PSSI. “Kenapa pemain yang
hanya diselidiki, harusnya orang-orang di lingkaran luar baik itu
pengurus PSSI maupun bandar dan petaruh juga diselidiki,” keluhnya.
Keluhan Rukma ini menegaskan sekali lagi
bahwa memang bukan PSSI yang memeriksa dan membongkar kasusnya. Skandal
Senayan 1962 ini dibongkar lewat penyelidikan yang dilakukan oleh KOGOR
yang didominasi oleh orang-orang militer, bukan PSSI. Salah satu tokoh
KOGOR adalah Maulwi Saelan, kiper Timnas Indonesia abad pertengahan yang
juga menjadi pelapor Skandal Senayan ini.
Toh, karier Rukma dan 9 pemain
yang diskorsing seumur hidup itu tidak habis. KOGOR Pusat akhirnya
membebaskan para pemain yang terlibat “Skandal Senayan” itu dengan
beberapa syarat, antara lain mengakui secara tertulis kesalahan yang
diperbuat terhadap negara dan janji tidak akan melakukan perbuatan yang
sama. Rukma dkk. juga harus menjalani masa percobaan Juni sampai
Desember 1963. Pengurangan hukuman itu jelas terkait persiapan timnas
menghadapi Ganefo, pesta olahraga negara-negara kiri yang diinisiasi
oleh Presiden Soekarno.

Ganefo, Alasan di Balik Pengurangan Sanksi
Skorsing seumur hidup terhadap Ramang
dan Noorsalam dari PSM serta 3 pemain PSIM di tahun 1961 juga akhirnya
dikurangi. Skorsing seumur hidup terhadap Rukma dan 9 rekannya di
Skandal Senayan 1962 juga akhirnya direvisi. Tapi setidaknya, di masa
lalu, mafia pengaturan skor pernah diselidiki dan berhasil dibuktikan
dan bukan sekadar omong-omong serupa gosip seperti di zaman sekarang.
Salah satunya lewat pengakuan pemain yang terlibat.
Penutup
Ratusan laga di seluruh dunia dicurigai
terlibat dalam skandal pengaturan skor yang di organisir oleh bandar
judi asal Singapura. Apakah anda sadar dengan kata-kata barusan ? dari
Singapura, negara tetangga kita yang jaraknya tak lebih dari setengah
jam dari Batam menggunakan speed boat.
Liga Champions saja berhasil disusupi,
apalagi Liga Indonesia yang setengah amatir ini ? anda jangan tertipu
dengan statement awam bahwa bandar judi besar hanya tertarik pada
laga-laga besar. Opini itu salah besar ! Justru mereka sangat tertarik
menggarap partai-partai kecil. Alasannya simpel, liga milik negara yang
belum teratur lebih mudah disusupi dan calon penerima suap lebih mudah
menerima deal dengan alasan standar gaji yang masih minim. Hukumannya
pun manim dan lebih-lebih pencegahannya tak terlihat sama sekali.
Tak heran, bahkan laga Divisi Satu Liga
Indonesia yang tak kita perhatikan justru menjadi sasaran empuk para
cukong-cukong bola. Kurang seriusnya PSSI dalam mengantisipasi suap
(padahal sudah mendarah daging dan menjadi rahasia umum),
profesionalisme yang tanggung, kepengurusan yang amburadul, banyaknya
kepentingan diluar sepak bola sampai pada rendahnya standar gaji bisa
menjadi alasan yang tepat menggambarkan betapa sebenarnya Indonesia
menjadi lahan subur untuk suap.
Berkaca saja dalam kasus suap “Skandal
Senayan”. Rp 25/hari bagi setiap pemain ketika dipanggil jelas menjadi
angka yang miris sebenarnya jika dibandingkan tugas mereka yang membawa
panji merah-putih. Tapi, jika hendak dibandingkan, gaji pegawai negeri
saat itu paling rendah adalah Rp 300 per bulan. Jadi, dalam 12 hari saja
pemain sudah menerima uang saku sebesar gaji paling rendah pegawai
negeri saat itu.
Uang saku Rp 25 per hari itu memang
tidak bisa dikatakan besar, tapi tentu berlebihan jika dibilang hanya
cukup untuk membeli semangkuk bakso seperti yang dikeluhkan Wowo.
Apalagi semua dari pengakuan tersebut, para pemain Timnas tidak jarang
ikut terlibat dalam judi Toto. Bukankah itu ironi ketika mengatakan uang
saku pemain begitu tipis namun di sisi lain tetap ketagihan berjudi ?
Saya bukannya mau menuduh pemain yang maruk akan uang. Urusannya bukan
lagi kesana, tapi muaranya adalah PSSI yang tidak pernah serius untuk
menindak tegas dan mencegah suap yang terjadi berulang.
Bahwa semua penyelidikan dan skorsing
Skandal Senayan itu dilakukan oleh klub dan KOGOR, bukan oleh PSSI,
menegaskan bukti bahwa sejak dulu PSSI memang mandul dalam soal aib yang
satu ini.
Silahkan jika teman-teman berkenan untuk
melakukan analisa sesuai topik ini di form komentar. Terima kasih sudah
mampir untu membaca.
Referensi : wikipedia, detik