/1/Melampaui Ibadah Kalkulatif
Sebagaimana biasanya, Ramadhan disambut
dengan suka cita. Pusat-pusat perbelanjaan disulap dengan nuansa Arabia.
Televisi tiba-tiba dihiasi oleh artis berhijab dan berjubelnya
ustad-ustad selebritis yang gemar mendakwahkan kesabaran sebagai
kesiapan menerima kekalahan agar kita kekal dalam penderitaan. Berbagai
cara dalam menyambut datangnya Ramadhan di satu sisi menunjukkan posisi
penting Ramadhan dan puasa bagi umat Islam. Namun di sisi lainnya,
penyambutan Ramadhan yang tidak tepat, salah satunya dengan meningkatnya
konsumsi, tak bisa tidak tengah mengubur hakikat Ramadhan dan puasa itu
sendiri.
Bagi semua muslim, Ramadhan merupakan
bulan mulia penuh ampunan. Meski kadang-kadang dimaknai secara keliru
dengan menganggap Ramadhan sebagai supermarket yang tengah menggelar
promo besar-besaran. Siapa belanja banyak otomatis juga mendapat bonus
banyak.
Memahami Ramadhan semacam itu tak pelak
berpotensi besar mengeringkan mata air spiritualisme Islam beserta
dimensi sosialnya yang luhur, dan menjadikan agama sekedar kalkulasi
untung rugi manusia dengan Tuhannya. Tentu tak ada larangan bagi
siapapun memaknai agama dengan caranya masing-masing. Namun Islam
bukanlah imannya para pedagang yang berpuasa hanya hanya karena ibadah
tersebut wajib dan berpahala besar.
Keduanya memang tidak salah. Tapi justru
dalam memaknai puasa secara imperatif dan kalkulatif, jangan-jangan
dengan puasa tersebut orang-orang beriman diam-diam tengah
mempertontonkan egoisme dirinya dan sikap infantilnya dalam beragama.
Karena toh ujung-ujungnya “kesenangan diriku” dan “kepuasan diriku” menjadi tujuan segala-galanya.
Apa yang seringkali dilupakan oleh umat
Islam saat ini adalah pemahaman bahwa semua ibadah formal dalam Islam
selain berdimensi ilahiah selalu pada dirinya berdimensi sosial. Dimensi
ilahiah dan sosial semua ibadah formal dalam Islam bersifat embedded yang tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman pada Allah (habl min Allah) tak bisa dipisahkan dengan hubungan sesama manusia dan pada alam (habl min al-nas wa habl min al-alam).
Menghilangkan salah satu diantaranya sama dengan merobohkan semuanya.
Dimensi sosial Islam terang dalam perintah membayar zakat,[1] mengharamkan menimbun harta,[2] menganjurkan berinfaq,[3] mengharamkan berbuat riba,[4] dan mengharamkan monopoli.[4]
Ibadah puasa sendiri sesungguhya
bukanlah khas agama Islam. Karena hampir semua agama memiliki tradisi
puasa sebagai sebuah latihan untuk mengekang nafsu dan hasrat-hasrat
rendah dalam diri manusia. Dalam Al-Qur’an diterangkan bahwa Maryam ibu
Isa Al-Masih juga berpuasa (shawm), bahkan puasa untuk tidak
berbicara kepada siapapun yang diperuntukkan sebagai cara menghindari
hinaan masyarakat yang menuduhnya telah berbuat hina dengan melahirkan
seorang bayi tanpa suami.[6]
Apa yang dilakukan Maryam dengan puasa
untuk tidak berbicara, selain perintah Tuhan yang bersifat ilahiah juga
berdimensi sosial agar ia terhindar dari cacian dan perdebatan yang
sia-sia. Karena tidak semua hal dalam beragama bisa diperdebatkan dengan
ukuran-ukuran manusia.
/2/Yang Ilahiah dan Sosial dalam Puasa
Berbeda dengan etika protestan yang oleh
Weber dianggap menjadi faktor utama munculnya Kapitalisme di Eropa.
Devosi keagamaan dalam ibadah puasa merupakan amalan yang sepenuhnya
untuk Allah sekaligus untuk manusia. Seseorang menangguhkan
kesenangannya demi cinta dan ridha-Nya. Puasa juga rahasia manusia
beriman dengan Allah yang tak ada seorang pun bisa mengetahuinya. Kita
bisa melihat seseorang meninggalkan makan-minum, tapi niat di hati hanya
Allah yang mengetahuinya. Jadi, niat tulus dalam puasa menjadi laku
singular seorang manusia beriman dengan Allah.
Mengapa Allah memberi perkenanan atau
ridha manusia dengan puasa yang harus menanggung lapar, bukan dengan
perbuatan atau kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan?
Pertama, Allah hanya memberi
keutamaan manusia yang mampu mengimajinasikan kesempitan, kekurangan dan
ketidak berdayaan orang lain. Tak ada keutamaan apapun, bahkan dalam
kata-kata yang paling bijak dan indah sekalipun jika tak ada di dalamnya
imaji akan penyelamatan yang mampu menjadi daya dorong untuk kemudian
terlibat dan bergerak dalam agenda penyelamatan yang paling kongkrit. Di
dalam Al-Qur’an pembukaan juz 4 Allah mengatakan: “Engkau
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (keutamaan yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang engkau cintai.”Tanpa
pengorbanan atas yang lain yang lemah atau teraniaya, maka tak ada
setitikpun keutamaan. Jadi, hanya dengan pengorbanan atas yang lain lah
Tuhan memberikan ridha-Nya.
Kedua, melalui perintah
puasa—sebagai percobaan—kita benar-benar diperkenankan untuk
mengindahkan kebenaran. Karena faktaya, meski kita telah mendengar
perintah“Wala tufsidu fi al-ardi ba’da islahiha” yang berarti
Allah melarang umat manusia untuk berbuat kerusakan di atas bumi, baik
sedikit maupun banyak, seringkali kita mengabaikannya. Wahbah Zuhayli
mengatakan bahwa manusia harus menggunakan haknya sesuai dengan perintah
dan seizin syara’ (aturan agama). Maka dari itu, ia tidak
boleh menggunakan haknya dengan cara yang menimbulkan mudarat
(kerusakan, kerugian, bahaya) bagi orang lain, baik secara individual
maupun secara komunal, baik dilakukan dengan sengaja atau tidak.[7]
Dengan demikian jika masih ada kaum beriman yang menganjurkan
individualisme, membela mode produksi kapitalis yang tidak berkeadilan
maka sesungguhnya ia tengah membuat kerusakan di muka bumi.
Seorang ulama, Ibn Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya Zad al-Ma’ad fi Huda Khair al-Ibad [8]
menjelaskan bahwa yang dimaksud puasa tak lain adalah menahan syahwat
dan menundukkan nafsu dari sesuatu yang disenanginya. Dengan demikian,
menahan lapar dalam puasa merupakan percobaan untuk berani mengingat dan
menanggung derita saudaranya yang miskin, papa dan teraniaya,
mendisiplinkan tubuh dari jejaring kapitalisme yang menjalar-jalar dalam
kesadaran kita agar tidak terus mengkonsumsi banyak hal yang bisa
merusak kehidupan dunia dan akhirat. Puasa merupakan jalan para muttaqin (orang-orang bertaqwa) untuk diri kepada Allah (taqarrub ila Allah).
Melalui puasa tubuh dan jiwa dijaga dari hal yang dapat mendegradasi
kualitas jiwa. Puasa juga mampu menjadi penawar dari keserakahan yang
tak tertanggungkan.
Puasa jika dijalankan dengan benar akan mampu melatih sifat ihsan seseorang, yaitu tingkatan spiritual tertinggi di dalam Islam. Apa itu ihsan? Rasulullah SAW menjelaskan, “Wahai
Rasulullah, apakah ihsan itu? Beliau menjawab, “Kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim). Dengan puasa kita dilatih untuk mampu melepaskan diri (in’tiqa)
dari keserakahan, ketamakan, kekikiran dan sikap mementingkan diri
sendiri yang selama ini dipromosikan oleh eksponen kapitalisme.
/3/Jalan Melawan Kapitalisme
Di abad penuh keserakahan ini, semua
orang beriman, khususnya orang Islam, ditantang untuk mampu menjawab
problem ketimpangan global yang kian membengkak[9].
Fatalnya, banyak orang lupa jika mereka merupakan bagian dari dunia
yang dipenuhi dengan ketimpangan, ketidakadilan, keserakahan dan ancaman
kerusakan lingkungan oleh pembangunan yang tak mengindahkan
kelestarian.
Berdasar data the United Nations Human Development Report (UNHDR)
tahun 1999, terhitung sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih yang
dimiliki oleh 200 orang terkaya di dunia bertambah: dari 40 milyar
menjadi lebih dari 1 trilyun dolar. Aset kekayaan tiga orang terkaya
lebih besar dibandingkan dengan gabungan GNP 48 negara terbelakang. Dan
jumlah milyarder di dunia meningkat 25% hanya dalam waktu 2 tahun
terakhir. Gabungan kekayaan dari 475 orang tersebut lebih besar dari
gabungan pendapatan 50% penduduk termiskin dari seluruh penduduk dunia.
Sementara laporan the World Health Organization (WHO) pada 2001
menjelaskan bahwa kelaparan yang melanda beberapa kawasan ternyata
akibat dari persoalan distribusi yang timpang (maldistribution) dan masalah ketidakadilan, bukan masalah kekurangan pangan.[10]
Sementara catatan Shukor Rahman dalam Straits of Malaysia Times
pada 2001 memberi gambaran yang memilukan di mana di seluruh dunia
kira-kira 50.000 orang mati setiap hari akibat kurangya kebutuhan
papan/tempat tinggal, air tercemar dan sanitasi yang tak memadai.
Jadi, Ramadhan dan puasa merupakan
percobaan, sebagai latihan diri untuk selalu melibatkan diri membangun
perubahan, mencipta keadilan dan mengikis ketimpangan. Jika Marxisme
mengajukan kritik struktural terhadap kapitalisme beserta keserakahan
dan ketimpangan yang diciptakannya, maka dengan puasa, Islam menyumbang
kritik moral atas keserakahan dan ketimpangan tersebut[11].
Dengan demikian, yang lebih penting dari semuanya adalah menjadikan
puasa dan Ramadhan sebagai medan bagi terbitnya nilai spiritual (qimah ruhaniyah), nilai kesadaran (qimah syu’uriyah), nilai kemanusiaan (qimah insaniyah)
setiap muslim yang menjalankan dan mengagungkannya. Tanpa itu, puasa
hanya sebatas ritus menahan lapar dan dahaga yang dicerabut dimensi
sosialnya.
Apa hakikat sesungguhnya puasa?
Puasa mesti diberi makna seluas-luasnya
jika kita menghendaki puasa tak hanya menjadi ritus saja. Kesabaran
revolusioner Musa dalam memimpin Perlawanan terhadap Fir’aun juga puasa.
Pilihan Yesus untuk menjadi oposan Byzantium dengan jalan cintanya juga
puasa. Pengorganisiran para budak dan kaum lemah lainnya oleh Muhammad
untuk melawan dominasi oligarki ekonomi-politik kaum Quraisy Makkah juga
puasa. Maka kita tak heran, Rasulullah menolak ketika malaikat Jibril
menawarinya dunia berserta segala perhiasannya. Dalam hadis riwayat
Tirmidzi dikatakan: “Tidak, lebih baik aku merasakan lapar sehari
dan kenyang sehari. Jika lapar, aku akan bersabar dan merendahkan diri
kepada Allah, jika aku merasakan kenyang, aku akan bersyukur kepada
Tuhanku”
Puasa juga berarti kesanggupan untuk
menggemakan kembali pertanyaan Paus beberapa waktu lalu di Santa Cruz:
“Apakah kita sadar bahwa ada sesuatu yang salah di dunia ini ketika
banyak petani tidak memiliki lahan, banyak keluarga tidak memiliki
rumah, banyak buruh tanpa hak, banyak orang yang martabatnya tidak
dihormati?, Apakah kita sadar bahwa sistem yang ada sekarang ini (baca:
Kapitalisme) telah memaksakan mentalitas akan keuntungan dengan cara
apapun, tanpa memedulikan tentang pengucilan sosial dan kerusakan alam?”
Bahkan, penulis sendiri berani berasumsi
bahwa apa yang disebut “jalan boikot” oleh Tan Malaka dalam sebuah
pidato yang disampaikannya pada Kongres Keempat Komunis Internasional di
Moscow 12 November 1922, yang dilakukan oleh kaum nasionalis
revolusioner untuk melawan imperialisme memiliki dasar-dasarnya dalam
Islam, yaitu sebuah sikap minimalis, melawan tanpa melawan dengan cara
memboikot bahkan dengan berpuasa untuk tidak mengkonsumsi produk
kapitalisme yang menghisap keringat kaum buruh.
Alhasil, melawan ketidakadilan adalah puasa.
Wallahu a’lam bi al-Shawab
Catatan akhir
[1]Lih.QS.
2: 43, 83, 110, 4: 77, 162, 5: 12, 6: 72, 9: 5, 11, 18, 60, 103, 19:
31, 22: 41, 24: 37, 56, 27: 3, 30: 39, 31: 4, 33: 33, 41: 7, 58: 13, 73:
20, dan 98: 5.
[2]Lih. QS. 9: 34.
[3]Lih.QS. 2: 195, 215, 219, 254, 261, 262, 354, 57: 10, dan 9: 34-35.
[4]Lih.QS. 30: 39, 2: 275, 277-280, 3: 130, 4: 161.
[5]Lih.QS. 59: 7.
[6]Berikut
adalah kutipan ayat yang menerangkan puasa Maryam untuk tidak
berbicara: “…Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam), serta
tenangkanlah dirimu. Dan jika terjadi engkau melihat seseorang, maka
katakan kepadanya, sesungguhnya aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm) kepada Yang Maha Pengasih.Karena itu hari ini aku tidak akan berbicara kepada siapapun.” QS. 19: 26.
[7] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid IV, hlm. 30
[8]Ibn Qayyim al-Jauzi, Zad al-Ma’ad fi Huda Khair al-Ibad, Beirut: Dar al-Fikr, 1973, Jilid I.
[9]
Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dolar AS sehari
meningkat: dari 1.197 juta pada 1987 menjadi 1.214 juta pada 1997, atau
sekitar 20 persen penduduk dunia. 25 persennya lagi (sekitar 1,6 milyar)
dari penduduk dunia bertahan hidup dengan 1-2 dolar AS perhari.
Sedangkan kesenjangan pendapatan antara seperlima penduduk dunia yang
hidup di negara-negara termiskin meningkat dua kali lipat pada
1960-1990: dari 30 berbanding 1 menjadi 60 berbanding 1. pada 1998,
kesenjangan itu semakin bertambah lebar, menjadi 78 berbanding 1.
Lih.the United Nations Human Development Report, 1999.
[10]Lih.the World Health Organization (WHO), Determinants of Malnutrition, 2001.
[11]Berikut
perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an dalam dimensi sosial: 1).
Mendahulukan kepentingan orang lain QS. 2:177, 59:9.2). Berbuat baik
merupakan sebaik-baik amalan QS. 3:92, 3:134. 3). Menyempurnakan takaran
dan timbangan, serta tidak merugikan orang lain QS 7:85, 11:84, 11:85,
17:35, 26:181, dsb. 4). Berinfak atau memberikan sebagian rizki kepada
orang lain QS 2:254, 3:92, 14:31, 32:16, 35:29, 42:38, dsb. 5). Tolong
menolong dan kasih sayang QS 5:2, 48:29, 24:22, 90:17, dan masih banyak
banyak lagi.
http://islambergerak.com/2015/07/puasa-dan-semangat-anti-kapitalisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar