Selasa, 23 Desember 2014

Indonesia Metalheads Kuala Lumpur Datangkan Jagal & Nalais

BURN IN FLAME #3
BURN IN FLAME #3
GerilyaMagazine.com | Kuala Lumpur, – Akhir tahun 2014 akhirnya ditandai kembali dengan terselenggaranya BURN IN FLAME #3 yang digelar oleh komunitas IMKL (Indonesian Metalheads Kuala  Lumpur), sebuah wadah komunitas metalheads Nusantara yang berada di Malaysia sebagai event penghujung tahun.
Tentu saja event ini juga dibantu oleh sahabat – sahabat dari komunitas metalheads Malaysia yang selama ini turut menyokong dan berbagi semangat dalam setiap event BIF yang digelar.
Untuk BIF #3 ini yang juga ditandai dengan anniversary komunitas IMKL yang kedua ini, kali ini terpilih JAGAL, unit brutal death kawakan dari Surabaya yang sudah lama malang melintang dengan beberapa album dan tour dan NALAIS pasukan grind core dari Bali sebagai perwakilan tanah air
Beberapa sahabat metalheads negeri jiran ini juga turut mengisi line up  BIF ini. Kali ini  band – band yang turut membakar suasana, berbagi stage dan keringat ini diantaranya ada SICKSOCIETY yang saat ini dalam proses recording album terbarunya, NEKRAD, CAFERGOT, KAZANNA, MORGGORM, dan WHO GOES TO WAR.
Menurut Anto Grind yang saat ini diamanahkan sebagai salah satu pengurus IMKL menyatakan event ini memang murni urunan atau patungan dari kawan – kawan IMKL selaku penyokong utama setiap event BURN IN FLAME ini dan dibantu oleh sahabat – sahabat lain di luar IMKL.
Kembali BURN IN FLAME menunjukkan semangat persahabatan dan persatuan pada komunitas dua negeri ini bersatu dan melupakan sejenak penatnya rutinitas dan berbagi suasana ceria.
(cece)

http://gerilyamagazine.com/2014/12/04/indonesia-metalheads-kuala-lumpur-datangkan-jagal-nalais/
 

Jumat, 12 Desember 2014

Lawanlah, Meski dengan Tulisan


mesin ketik api

Lawanlah, Meski dengan Tulisan

KONTERKULTUR–SAAT di mana kita tak memiliki tenaga untuk melawan, kita masih bisa menulis. Saat di mana suara kita dibungkam, kita masih bisa menulis. Saat fisik kita dipenjara, kita masih bisa menulis. Lakukanlah perlawanan, meski dengan hanya menulis!
Memang, menulis bukan satu-satunya cara untuk melakukan perlawanan, tetapi menulis bisa menjadi satu cara untuk tetap menumbuhkan semangat perlawanan. Saat kita terdesak tak punya saluran untuk menyuarakan pendapat kita, menulis menjadi media untuk menggelontorkan gagasan dan pendapat kita agar dibaca banyak orang.
Anne Frank, dalam ‘kesendiriannya’ menulis buku harian. Catatan harian itu ditulis Anne selama masa persembunyian di Prinsengracht–menghindari kejaran pasukan Nazi. Di kemudian hari, tepatnya tahun 1947, catatannya diterbitkan. Meski sekadar menulis catatan kecil, tapi ia berhasil merekam jejak kehidupan selama ia berada dalam kondisi tertekan. Dengan wawasannya, dia menyingkapkan hubungan antara delapan orang yang hidup dibawah kondisi yang luar biasa, menghadapi kelaparan, ancaman ketahuan dan dibunuh yang senantiasa hadir, sepenuhnya terasing dari dunia luar, dan terutama, kebosanan, kesalahpahaman yang remeh, serta frustrasi hidup dibawah ketegangan tak tertahankan, dalam tempat tinggal yang terbatasi.
Mengomentari catatannya ini, Chicago Tribune menulis: “Catatan Harian ini mengungkapkan impian-impian, kegetiran hidup, perjuangan, dan emosi…Memperingati setengah abad lebih Berakhirnya Perang Dunia II. Ada Baiknya kita membaca kembali sebuah kesaksian akan perjuangan jiwa dalam mengarungi sisi kejam kehidupan dunia.”
Ini hanya satu contoh. Betapa dalam kondisi terjepit pun, kita bisa melawan–atau setidaknya–memberikan kabar kepada siapapun bahwa diri kita sedang terjepit. Menulis, adalah salah satu cara untuk memperjuangkannya.
Banyak kisah lain yang menceritakan bahwa menulis adalah satu bentuk perlawanan. Syeikh Sayyid Quthb, melalui buku-bukunya jelas melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman yang ada pada saat itu. Ketika fisiknya dibatas oleh jeruji penjara, ia tetap bisa melawan: dengan menulis.
Buya Hamka, tetap bisa berdakwah, bisa berbagi ilmu, bisa melakukan perlawanan dengan menulis. Ketika beliau dipenjara, beliau tetap menulis dan bahkan menghasilkan satu karya fenomenal, yakni Tafsir al-Azhar. Menulis, satu bentuk usaha untuk melawan dan menaklukan tantangan hidup. Menulis menjadi senjata untuk melakukan perang opini.
Kita, generasi mutaakhirin ini, masih bisa membaca kisah-kisah heroik teladan kita di masa lalu, Rasulullah saw melalui para sahabatnya yang bisa membaca dan menulis mengabarkan berdirinya kekuatan baru, negara Islam di Madinah, melalui surat-surat yang dikirim kepada para penguasa di sekitar Jazirah Arab. Secara tidak langsung, surat-surat yang ditulis itu sekaligus mengumumkan perlawanan kepada mereka bahwa ada kekuatan baru untuk menghentikan problem kehidupan yang terjadi saat itu. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Kaisar Persia tak terima, maka dirobeklah surat dari Rasulullah saw yang dibawa Abdullah bin Hudzafah as-Sahmy. Heraklius, Kaisar Romawi juga menolak dengan halus ketika menyampaikan pesan kepada Dhihya al-Kalbi, sahabat yang diutus Rasulullah saw. mengantarkan surat kepadanya: “Sampaikanlah berita kepada pembesarmu itu, bahwa aku tahu dia memang benar Nabi,tetapi apa daya, aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku tak mau ditumbangkan dari kerajaanku.”
Rasulullah saw bersabda ketika surat yang dibawa utusannya dirobek-robek oleh Kisra: “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya pula.” Ketika Heraklius menolak dengan halus, Rasulullah saw. hanya berkomentar pendek, “sa uhaajim al-ruum min uqri baitii” (Akan aku perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi saw. ini bukan genderang perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700-an, tidak lebih dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw (632 M), umat Islam telah tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ke tangan Alexander the Great. Selanjutnya, kaum muslimin memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti.
Menurut William R Cook pada tahun 711 M: “713 kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ke tangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim.”
Menulis adalah bagian dari perjuangan: melawan; menggerakkan. Tulisan yang mencerahkan mampu mengobarkan semangat dan menggerakkan kekuatan untuk melakukan perlawanan.
Jika Theodor Herzl menulis Der Judenstaat (1896) yang menginspirasi banyak kaum Yahudi untuk mendirikan negara Israel pada 1948 (sekitar 50 tahun setelah buku itu ditulis), kita juga bisa menggerakkan gelombang perlawanan–salah satunya–melalui tulisan. Sekaligus mengabarkan bahwa kaum muslimin juga bisa kembali punya kekuatan yang mendunia–sebagaimana sudah dirintis dan dibuktikan oleh Rasulullah saw., para sahabatnya dan seluruh khalifah hingga terakhir di Turki Utsmani yang berakhir pada 1924. Kita bisa membaca kisah masa lalu, melalui sebuah tulisan. Kita memiliki al-Quran, yakni kalamullah (ucapan Allah) yang ditulis kembali untuk dibaca umat manusia seluruh dunia. Kitab yang mampu memberikan penjelasan, memberikan kabar gembira dan peringatan.
Ya, menulis adalah salah satu cara dalam melakukan perlawanan. Selain tentunya menulis untuk berbagi informasi, berbagi wawasan, berbagi ilmu.
Akhirul keyboard, menulislah terus, dan teruslah menulis agar semangat perlawanan dan perjuangan tak pernah henti. Napoleon Bonaparte pernah berkomentar: “Aku lebih suka menghadapi seribu tentara daripada satu orang penulis”. Ya, seorang jenderal bisa mengerahkan kekuatan seribu tentara, tapi seorang penulis bisa saja menginspirasi ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, atau bahkan jutaan orang untuk melakukan perlawanan. Jangan berhenti menulis! []
Oleh: Ibrahim Hasan, Mahasiswa Universitas Sebelas Maret. Aktivis Gema Pembebasan Solo Raya
Sumber: Islampos

http://konterkultur.com/lawanlah-meski-dengan-tulisan/

Punk dan Komunisme


punk lenin

Punk dan Komunisme

Where man is free
where`s no more need
i`ll rest my soul in peace
when there is silence
without a coming storm
i`ll be free of the oath i`ve sworn
But until that time remains
My commitments to communism
(lirik lagu Commitment – oleh Man Lifting Banner)

KONTERKULTUR–Sejak awal, punk memang tidak pernah lepas dari muatan ideologis. Banyak diantarascenester punk/hardcore di Indonesia yang belajar banyak tentang esensi perlawanan kultur punk justru bukan dari sekedar mendengarkan dan membaca lirik lagu band favorit mereka, namun dari pembelajaran lain yang lebih dari itu. Misalnya dari diskusi-diskusi, buku, film, atau bergabung dengan suatu kolektif perlawanan. Beberapa pemikir punk menganggap bahwa mengedukasi diri dengan ide-ide perlawanan itu ‘wajib’ jika memilih jalan hidup punk. Karena esensi dari punk sendiri, katanya, adalah perlawanan terhadap ketidakadilan. Maka ideologi-ideologi yang bermuatan perlawanan dari pihak yang ‘terdominasi’ kepada ‘pihak yang mendominasi’ terdengar sangat ‘seksi’ untuk dilirik para penganut punk diberbagai penjuru dunia.
Meski punk identik dengan faham anarkisme, tapi anarkisme bukanlah satu-satunya ‘ideologi’ yang biasa dilirik oleh para pegiat punk. Marxisme juga banyak menginspirasi pemikiran banyak band punk diseluruh dunia. Meski ada banyak perbedaan mendasar antara anarkisme dengan marxis-leninis/komunisme (bahkan ada juga aspek-aspek yang sangat kontradiktif), tapi muatan perlawanan yang diusung oleh kedua ideologi tersebut berhasil menarik hati banyak band punk/hardcore di seluruh dunia. Sebut saja Man Lifting Banner, DeadStoolPigeon, Sober Response dan Seein’ Red. Mereka adalah band-band yang mendeklarasikan diri sebagai band hardcore/punk ber-ideologi kiri. Bahkan Olav, seorang personel Man Lifting Banner pernah mengatakan bahwa mereka memang membawa ideologi Marxis-Komunis dalam pemikiran dan lagu-lagunya. Mereka menginginkan sebuah masyarakat yang berlandaskan persamaan dan keadilan sosial sesuai konsep Marx. Bagi mereka, rakyat harus memiliki kontrol terhadap hidupnya sendiri dan masyarakat harus dikendalikan oleh rakyat sendiri, bukan oleh para businessman (kapitalis)[1].
Isu-isu yang dilemparkan oleh para pengikut Marx di scene hardcore/punk tidak pernah jauh dari isu kesetaraan dan perlawanan kelas sosial. Entah itu berbentuk kesetaraan dibidang ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun gender. Musuh besar mereka adalah kapitalisme. Bagi mereka, kapitalisme adalah biang kerok terjadinya segala bentuk penindasan, diskriminasi, dan dominasi di muka bumi ini. Prinsipnya, dimanapun ada otoritas, disitulah ada penindasan.
Di dalam scene punk negeri ini juga pernah mengalami masa-masa dimana para scenester tertarik untuk bergabung dalam barisan pengikut Komunis (Marxis-Leninis). Menjelang pemilu 1999 lalu, PRD (Partai Rakyat Demokratik) menjadi lirikan banyak individu maupun kolektif untuk ikut memperjuangkan nasib rakyat tertindas. Karena dianggap memiliki ‘musuh’ yang sama (baca: kapitalisme), akhirnya para punk yang seharusnya identik dengan ideologi anarkisme banyak yang mulai bergabung dalam PRD. Sebut saja para personel band hardcorepunk Kontaminasi Kapitalis di era awal. Mereka pernah berada dalam kepengurusan partai kiri ini di wilayah Bandung. Diluar itu ada beberapa band punk lokal yang terindikasi kuat menyebarkan ide-ide Marxisme seperti Marjinal dan Lontar.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, sejak mereka terlibat dalam perdebatan yang prinsip dengan aktivis-aktivis PRD ketika itu. Mereka mengungkapkan kekecewaan yang dalam berbagai tulisan di zine berjudul Mempersenjatai Imajinasi. Dalam edisi kedua dari zine itu, Pam, sang editor menuliskan segudang sumpah serapah tentang kebusukan Marxis-Leninis ala PRD.
Jika ditelisik lagi, para punk yang kecewa dengan sikap dan pemikiran PRD ini karena menurut mereka PRD bukanlah representasi pemikiran Marx yang sebenarnya. PRD dianggap tidak ubahnya pemikiran sempalan dari Marx. Tapi bukan murni Marx. Dengan kata lain, kutukan dan makian mereka ke PRD disebabkan sistem dari partai tersebut ternyata sama busuknya dengan apa yang dilakukan Lenin di Rusia.
Bagaimanapun juga Komunisme memang tidak pernah berhasil mulus ketika diterapkan dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Begitu pula Marxisme, meski buku-bukunya dipuja oleh banyak anak-anak muda di berbagai kampus di Indonesia, tetap saja belum pernah ada yang berhasil menerapkan pemikiran Marx kedalam kehidupan sosial bermasyarakat. Jangankan untuk kehidupan bermasyarakat, Marx sendiri berasal dari tatanan keluarga yang berantakan, dia sendiri seorang pecandu alkohol, dan hal itu yang menyebabkan dirinya ditangkap polisi karena melakukan kekerasan.
Dalam sejarah punk, baik Anarkisme maupun Komunisme, keduanya sama-sama memiliki catatan buruk dan kecacatan yang fatal.[2] Sampai kapanpun, ide-ide Anarkisme, Komunisme (Marx-Leninis) maupun Marxisme murni tetap akan menjadi ancaman bagi kebodohan sebagian umat Islam yang tidak bisa memfilter ideologi Barat yang masuk. Jangan pernah iseng mempelajari pemikiran-pemikiran yang berasal dari mereka selain untuk bersikap kritis terhadapnya. Komunisme yang masuk secara sporadis ke dalam scene punk (meski kini tidak segencar dulu), hanya akan memicu bibit-bibit kebodohan baru di negeri ini. Selamanya faham ini tidak akan pernah bisa menjadi solusi untuk problematika umat manusia. []
[1] Baca Interview dengan man Lifting Banner di Membakar Batas Zine #1
[2] Baca tulisan berjudul “Anarkisme, Punk dan Islam” dalam Sub Chaos Zine edisi 10
Oleh: Aik

http://konterkultur.com/punk-dan-komunisme/

Freemason Dalam Sejarah Indonesia


steps-of-freemasonry

Freemason Dalam Sejarah Indonesia

KONTERKULTUR–Meski ratusan tahun beroperasi di Nusantara, keberadaan Freemason (Belanda:Vrijmetselaarij), nyaris tak tertulis dalam buku-buku sejarah. Padahal, banyak literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan penulisan sejarah tentang gerakan salah satu kelompok Yahudi di wilayah jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini.
Di antaranya adalah: Vrijmet selaarij: Geschiedenis, Maats chapelijke Beteekenis en Doel (Freemason: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931, Geschiedenis der Vrymet selary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen (Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J Hagemen JCz pada tahun 1886, Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onderhoorige Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah Kolonialisme) yang ditulis oleh H Maarschalk pada tahun 1872, dan Gedenkboek van de Vrijmet selaaren In Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917), yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidele (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya).
Di samping literatur yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, pada tahun 1994, sebuah buku berjudul Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764- 1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764- 1962) ditulis oleh Dr Th Stevens, seorang peneliti yang juga anggota Freemason. Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason di Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004.
Buku-buku yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bahkan, Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Semarang pada 1895 sampai awal tahun 1940-an, juga masih tersimpan rapi di perpustakaan nasional.
Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut di atas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia. Keberadaan jaringan Freemason di Indonesia seperti ditulis dalam buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 adalah 150 tahun atau 199 tahun, dihitung sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961.
Selama kurun tersebut Freemason telah memberikan pengaruh yang kuat di negeri ini. Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara.
Keterlibatan elite-elite pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elite keraton di Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta, terekam dalam buku kenang-kenangan ini. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda ini.
Radjiman yang masuk sebagai anggota Freemason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Radjiman pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh CG van Wering.
Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Adalah Dirk van Hinloopen Labberton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum (openbare) di Loge de Sterinhet Oosten (Loji Bin – tang Timur) Batavia. Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul, ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).
Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason. Apa misi Freemason? Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, karya Dr Th Steven dijelaskan misi organisasi yang memiliki simbol Bintang David ini: ”Setiap insan Mason Bebas mengemban tugas, di mana pun dia berada dan bekerja,untuk memajukan segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.”
Jadi, misi Freemason adalah “menghapus pemisah antarmanusia!”. Salah satu yang dianggap sebagai pemisah antarmanusia adalah ‘agama’. Maka, jangan heran, jika banyak manusia berteriak lantang: ”semua agama adalah sama”. Atau, ”semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu.”
Paham yang dikembangkan Freemason adalah humanisme sekular. Semboyannya: liberty, egality, fraternity. Sejak awal abad ke-18, Freemasonry telah merambah ke berbagai dunia. Di AS, misalnya, sejak didirikan pada 1733, Freemason segera menyebar luas ke negara itu, sehingga orang-orang seperti George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin menjadi anggotanya.
Prinsip Freemasonry adalah ‘Liberty, Equality, and Fraternity’. (Lihat, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York: Wing Books, 1996). Harun Yahya, dalam bukunya, Ksatria-kstaria Templar Cikal Bakal Gerakan Freemasonry (Terj), mengungkap upaya kaum Freemason di Turki Usmani untuk menggusur Islam dengan paham humanisme.
Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Usmani, Mustafa Rasid Pasya, August Comte menulis, “Sekali Usmaniyah mengganti keimanan mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat dapat tercapai.” Comte yang dikenal sebagai penggagas alir n positivisme juga mendesak agar Islam diganti dengan positivisme. Jadi, memang erat kaitannya antara pengembangan liberalisasi, sekularisasi, dan misi Freemason.*[]


http://konterkultur.com/freemason-dalam-sejarah-indonesia/

Selasa, 02 Desember 2014

Anti-Flag, Band Punk yang Mengajakmu Anti-Amerika Sekaligus Anti-Agama

KONTERKULTUR–Dulu, kami mungkin paling suka dengan band ini. Kritikannya terhadap kebijakan Amerika buas sekali. Cakaran lirik-liriknya kuat. Area sindirannya nggak cuma ke pemerintah negara asal mereka, tapi juga ke scene emo, scene hardline, indie, punk rock. Mereka anggap semua scene itu suck, karena mereka menganggap kekanak-kanakan kalau cuma ngejadiin musik just for fun.
Lihat, mereka nggak percaya bahwa musik cuma untuk fun doang. Mereka menjadikan musik sebagai corong propaganda keyakinan mereka.
Dalam lagu “If You Wanna Steal”, mereka bercerita tentang seorang anak yang memiliki bapak yang cerdas. Bapaknya ini mampu menyederhanakan sesuatu yang rumit dalam pandangan anaknya yang berumur 9 tahun.
Lagu ini menarik, tapi coba perhatikan keyakinan apa yang ingin disampaikan Justin, Pat Thetic, dan awak band punk rock ini?
“If you wanna live you better not fear how you die. Heaven and hell are just a myth so you better pay attention to this moment.” (If You Wanna Steal/Anti Flag)            
“Jika kamu ingin hidup, sebaiknya kamu tidak takut mati. Surga dan neraka cuma mitos doang. Jadi sebaiknya kamu mendengarkan lirik ini dengan baik.” (If You Wanna Steal-Anti Flag).
Ya, mereka sedang mengajakmu untuk meninggalkan agamamu! Buang ke sampah saja kalau ada rekaman semacam ini![]
Oleh: Divan Semesta (Ex-Anti-Mammon).
(Tulisan ini diambil dari manifesto band punk Anti-Mammon yang diterbitkan tahun 2012 dalam bentuk zine dengan nama yang sama).
Editor: Abu Hafizh

http://konterkultur.com/anti-flag-band-punk-yang-mengajakmu-anti-amerika-sekaligus-anti-agama/

Ode untuk Merry : sedikit kisah tentang alm pacar [ivan scumbag]

Merry. Saya ga pernah tau nama lengkapnya. Saya juga ga inget persis kenalnya gimana. Yang pasti saya mulai tau Merry sejak Omuniuum pindah ke Ciumbeluit dan saya mulai sering berkunjung beberapa tahun yang lalu. Tempat yang enak untuk ngobrol dan melepas kepenatan kuliah, persis di depan kampus.

Yang saya tahu, Merry adalah orang yang mengurus segala hal di belakang counter. Saya baru menyadari Merry adalah pacar alm Ivan Scumbag / Burgerkill saat membaca bukunya Kimung, "Myself: Scumbag, Beyond Life and Death". Saya sempet dengan lugunya mengkonfirmasi itu dengan Mas Tri dan Boit, "Eh itu Merry yang di buku ini kan?".

Semakin saya mengenal Merry, walau tidak pernah jauh lebih banyak daripada; "halo", "pulang dulu", "mana boit dan mastri?", "ini berapa mer?", dan ledekan atau cela-celaan seadanya, saya melihat banyak perubahan. Merry pada awalnya salah satu orang yang paling tertutup yang saya kenal, untuk banyak hal mungkin, tapi saya dapat melihat dari gesturnya. Tetapi, setahun terakhir ini Merry menjadi sosok yang jauh lebih terbuka, lebih ramah dan sering menyapa pelanggan. Dari yang ucap-ucapan dan ledek-ledekan dan cela-celaan (suatu hal yang banyak dikenang dari orang lain) yang kurang bermakna, menjadi sapaan yang hangat. Auranya pun tidak segarang saat saya pertama kali mengenalnya.

Subuh tadi, setelah saya selesai bekerja sepanjang malam, saya mendapat kabar duka. Oleh Kimung, dari Fesbuk. Saya mencoba tidak untuk memikirkannya, hanya menyebarkan kabar sebagai perhormatan saya untuknya. Saya ingat hal terakhir yang kami bahas adalah Merry seorang mutan. Ga pernah jelas sakit apa. Sudah bersih selama beberapa tahun terakhir. Tapi setan penggerogot itu mungkin tidak pernah melepas cengkramannya dari dalam. Terakhir dites ga ada apa-apa dengan kepala dan paru-parunya. Diagnosa terakhir adalah TBC. Itu akhir Juli. Saya hanya bisa tidur dan sedikit menyayangkan hal ini terjadi.

Lalu pas saya bangun siangnya, Felix men-tag saya dengan note di facebooknya. Kira-kira hal yang serupa dengan apa yang saya tuliskan ini. Entah kenapa airmata saya tidak bisa berhenti mengalir. Sampai dua jam selanjutnya, di tempat tidur. India sialan. Bikin melodramatis. Sampai saat ini saya tidak pernah mengerti mengapa tubuh rasa bereaksi lain dengan emosi saya yang cukup datar. Mungkin ketidak seimbangan hormon, mungkin empati bawah sadar. Dari pagi sampai malam, saya tidak berani datang atau bertemu dengan teman-teman yang berkabung. Takut jebol lagi. Saya baru datang saat hampir tengah malam ke Omuniuum, menahan dengan bir dingin.

Tapi kira-kira gini akhirnya. Hal yang paling saya syukuri dari lubuk hati yang mendalam. Terakhir kali saya berbicara dengannya diakhir Juni, bukan cela-celaan atau ledekan yang mungkin sepele tetapi mungkin dapat membuat saya menyesal bahwa hal tersebut adalah obrolan yang terakhir yang kami lakukan. Terakhir kali kami berbicara merupakan sapaan dan obrolan hangat.

Mungkin sudah saatnya saya mengurangi cela-celaan saya dan menggantinya dengan keramahan setiap saat. Karena itu yang dapat saya kenang dengan Merry.

Dengan airmata.
Bandung, 20 Agustus 2009

copy from https://www.facebook.com/notes/ryan-koesuma/ode-untuk-merry/119547617225