Punk dan Komunisme
Where man is freewhere`s no more needi`ll rest my soul in peacewhen there is silencewithout a coming stormi`ll be free of the oath i`ve swornBut until that time remainsMy commitments to communism(lirik lagu Commitment – oleh Man Lifting Banner)
KONTERKULTUR–Sejak awal, punk memang tidak pernah lepas dari muatan ideologis. Banyak diantarascenester punk/hardcore di Indonesia yang belajar banyak tentang esensi perlawanan kultur punk justru bukan dari sekedar mendengarkan dan membaca lirik lagu band favorit mereka, namun dari pembelajaran lain yang lebih dari itu. Misalnya dari diskusi-diskusi, buku, film, atau bergabung dengan suatu kolektif perlawanan. Beberapa pemikir punk menganggap bahwa mengedukasi diri dengan ide-ide perlawanan itu ‘wajib’ jika memilih jalan hidup punk. Karena esensi dari punk sendiri, katanya, adalah perlawanan terhadap ketidakadilan. Maka ideologi-ideologi yang bermuatan perlawanan dari pihak yang ‘terdominasi’ kepada ‘pihak yang mendominasi’ terdengar sangat ‘seksi’ untuk dilirik para penganut punk diberbagai penjuru dunia.
Meski punk identik dengan faham anarkisme, tapi anarkisme bukanlah satu-satunya ‘ideologi’ yang biasa dilirik oleh para pegiat punk. Marxisme juga banyak menginspirasi pemikiran banyak band punk diseluruh dunia. Meski ada banyak perbedaan mendasar antara anarkisme dengan marxis-leninis/komunisme (bahkan ada juga aspek-aspek yang sangat kontradiktif), tapi muatan perlawanan yang diusung oleh kedua ideologi tersebut berhasil menarik hati banyak band punk/hardcore di seluruh dunia. Sebut saja Man Lifting Banner, DeadStoolPigeon, Sober Response dan Seein’ Red. Mereka adalah band-band yang mendeklarasikan diri sebagai band hardcore/punk ber-ideologi kiri. Bahkan Olav, seorang personel Man Lifting Banner pernah mengatakan bahwa mereka memang membawa ideologi Marxis-Komunis dalam pemikiran dan lagu-lagunya. Mereka menginginkan sebuah masyarakat yang berlandaskan persamaan dan keadilan sosial sesuai konsep Marx. Bagi mereka, rakyat harus memiliki kontrol terhadap hidupnya sendiri dan masyarakat harus dikendalikan oleh rakyat sendiri, bukan oleh para businessman (kapitalis)[1].
Isu-isu yang dilemparkan oleh para pengikut Marx di scene hardcore/punk tidak pernah jauh dari isu kesetaraan dan perlawanan kelas sosial. Entah itu berbentuk kesetaraan dibidang ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun gender. Musuh besar mereka adalah kapitalisme. Bagi mereka, kapitalisme adalah biang kerok terjadinya segala bentuk penindasan, diskriminasi, dan dominasi di muka bumi ini. Prinsipnya, dimanapun ada otoritas, disitulah ada penindasan.
Di dalam scene punk negeri ini juga pernah mengalami masa-masa dimana para scenester tertarik untuk bergabung dalam barisan pengikut Komunis (Marxis-Leninis). Menjelang pemilu 1999 lalu, PRD (Partai Rakyat Demokratik) menjadi lirikan banyak individu maupun kolektif untuk ikut memperjuangkan nasib rakyat tertindas. Karena dianggap memiliki ‘musuh’ yang sama (baca: kapitalisme), akhirnya para punk yang seharusnya identik dengan ideologi anarkisme banyak yang mulai bergabung dalam PRD. Sebut saja para personel band hardcorepunk Kontaminasi Kapitalis di era awal. Mereka pernah berada dalam kepengurusan partai kiri ini di wilayah Bandung. Diluar itu ada beberapa band punk lokal yang terindikasi kuat menyebarkan ide-ide Marxisme seperti Marjinal dan Lontar.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, sejak mereka terlibat dalam perdebatan yang prinsip dengan aktivis-aktivis PRD ketika itu. Mereka mengungkapkan kekecewaan yang dalam berbagai tulisan di zine berjudul Mempersenjatai Imajinasi. Dalam edisi kedua dari zine itu, Pam, sang editor menuliskan segudang sumpah serapah tentang kebusukan Marxis-Leninis ala PRD.
Jika ditelisik lagi, para punk yang kecewa dengan sikap dan pemikiran PRD ini karena menurut mereka PRD bukanlah representasi pemikiran Marx yang sebenarnya. PRD dianggap tidak ubahnya pemikiran sempalan dari Marx. Tapi bukan murni Marx. Dengan kata lain, kutukan dan makian mereka ke PRD disebabkan sistem dari partai tersebut ternyata sama busuknya dengan apa yang dilakukan Lenin di Rusia.
Bagaimanapun juga Komunisme memang tidak pernah berhasil mulus ketika diterapkan dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Begitu pula Marxisme, meski buku-bukunya dipuja oleh banyak anak-anak muda di berbagai kampus di Indonesia, tetap saja belum pernah ada yang berhasil menerapkan pemikiran Marx kedalam kehidupan sosial bermasyarakat. Jangankan untuk kehidupan bermasyarakat, Marx sendiri berasal dari tatanan keluarga yang berantakan, dia sendiri seorang pecandu alkohol, dan hal itu yang menyebabkan dirinya ditangkap polisi karena melakukan kekerasan.
Dalam sejarah punk, baik Anarkisme maupun Komunisme, keduanya sama-sama memiliki catatan buruk dan kecacatan yang fatal.[2] Sampai kapanpun, ide-ide Anarkisme, Komunisme (Marx-Leninis) maupun Marxisme murni tetap akan menjadi ancaman bagi kebodohan sebagian umat Islam yang tidak bisa memfilter ideologi Barat yang masuk. Jangan pernah iseng mempelajari pemikiran-pemikiran yang berasal dari mereka selain untuk bersikap kritis terhadapnya. Komunisme yang masuk secara sporadis ke dalam scene punk (meski kini tidak segencar dulu), hanya akan memicu bibit-bibit kebodohan baru di negeri ini. Selamanya faham ini tidak akan pernah bisa menjadi solusi untuk problematika umat manusia. []
[1] Baca Interview dengan man Lifting Banner di Membakar Batas Zine #1
[2] Baca tulisan berjudul “Anarkisme, Punk dan Islam” dalam Sub Chaos Zine edisi 10
Oleh: Aik
http://konterkultur.com/punk-dan-komunisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar