Selasa, 19 Oktober 2010

CATATAN DEPRESIKU,





Hari ini adalah hari yang saat menyebalkan bagiku

karena hari ini adalah hari dimana

dia akan pergi meninggalkan aku sendiri dalam kesepian ini,

Inginku memohon padanya agar dia tidak pergi meninggalkanku,

tapi dilain sisi aku juga gak ingin kalau masa depannya berantakan jika dia terus bersamaku,

menggapa engkau pertemukanku dengan dia jika akhirnya kau pisahkanku dengan dirinya,

mengapa ketika kita telah saling mencinta kita malah harus berpisah!!!

Masih adakah harapan bagiku untuk melanjutkan hidupku tanpa senyum manis dari dirinya???

betapa malangnya nasib percintaanku ini, masih adakah kesempatan kedua untukku bertemu dengannya???

Ataukah aku akan berpisah selamanya dengan dia??


Ku ingin kau kembali......................................





Karya : Eka Nur Kurniadi


Minggu, 17 Oktober 2010

Kelompok Marjinal di Perkotaan: Dinamika, Tuntunan, dan Organisasi

Ditulis Oleh: Hetifah Sjaifudian, Ph.D

Istilah “miskin” merendahkan martabat.
Istilah “terpinggirkan” secara politik lebih punya makna.

Klarifikasi atas Istilah: Siapakah Kelompok Marjinal itu?
Tidak ada definisi tunggal tentang siapa kelompok yang terpinggirkan. Lazim diasumsikan bahwa mereka yang tergolong kelompok terpinggirkan (marjinal) adalah mereka yang miskin. Namun, terpinggirkan dan miskin tidak serta merta sama. Orang miskin biasanya masuk dalam kelompok terpinggirkan, tetapi orang yang terpinggirkan tidak selalu bisa disebut miskin. Bagaimana lantas kelompok-kelompok terpinggirkan

mendefinisikan dirinya? Bagi mereka, kelompok terpinggirkan mencakup orang yang mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran, diskriminasi atau eksploitasi di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota. Sekalipun banyak yang mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam gaya hidup yang paling sederhana, kelompok-kelompok terpinggirkan senantiasa menolak istilah “miskin” atau “kemiskinan”.

Seorang aktivis untuk kelompok terpinggirkan bercerita bahwa istilah ‘miskin’ pernah digunakan ketika sejumlah anak muda di kota Solo membentuk organisasi bernama KMKMK (Kaum Muda untuk Kaum Miskin Kota). Namun, komunitas yang mereka dukung tidak menyukai nama itu sehingga nama organisasi itu diubah menjadi SOPING (Solidaritas untuk Kaum Pinggiran). Alasan lain yang sering dikemukakan adalah karena istilah “miskin” memiliki konotasi melarat. Kenyataannya, memang tidak semua dari kelompok marjinal di perkotaan seperti penyandang cacat atau pedagang kaki lima berada dalam kondisi seperti itu.

Bagaimana pihak pendukung upaya pengentasan kemiskinan mendefinisikan kelompok marjinal?. TKS-CDS kota Surakarta , dipelopori oleh dosen-dosen universitas setempat dan aktivis LSM, mendefinisikan kelompok terpinggirkan sebagai: “mereka yang datang dari sektor informal, yang sering tidak punya akses ke kekuasaan, dan yang memiliki pengaruh kecil dalam pembangunan”. Meskipun demikian, kelompok kerja ini tetap menggunakan istilah “kaum marjinal” dan “kaum miskin kota” secara bertukaran. Delapan kelompok marjinal dimasukkan dalam penyusunan CDS terakhir: pedagang kaki lima, komunitas pasar tradisional, pengemudi becak, pemukim liar , penata parkir, penyandang cacat, pemulung, dan musisi jalanan (pengamen). Karena dalam penyusunan oleh kelompok kerja itu yang “marjinal” terbatas pada sektor informal, maka buruh pabrik tidak termasuk. Memang, dalam proyek “partisipatif” yang didanai Bank Dunia, termasuk CDS, buruh pabrik jarang dilibatkan dalam proses itu. Kemungkinan lain adalah bahwa kelompok yang telah menghasilkan kesatuan tradisional berbasis-kelas di masa lalu tidak mendapat sambutan baik dalam iklim politik lokal di Indonesia kini. Selain itu, tampaknya kelompok yang dipilih untuk terlibat dalam CDS adalah mereka yang sudah relatif terorganisasi, sudah terlibat dalam aktivitas advokasi di tingkat kota, dan yang aktivitasnya sering diliput oleh media massa.

Bagaimanakah dengan program yang diinisiasi oleh Pemerintah Kota sendiri?. Pemerintah Kota Solo, khususnya Bapeda-nya, memasukkan PSK (Pekerja Seks Komersial) dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif tahunan mereka. Para PSK dilibatkan karena keberadaan mereka dianggap sebagai salah satu masalah sosial kota (menurut definisi pemerintah). Hal ini menandakan perbedaan perspektif—bahwa sebagian kelompok dicakup karena mereka adalah masalah bagi komunitas yang lebih luas ketimbang karena mereka miskin atau terpinggirkan. Ringkasnya, bagi Pemerintah Kota Solo, keberadaan sebagian kelompok marjinal secara umum sudah diakui (seperti PKL, pengemudi becak, penyandang cacat, bahkan PSK). Pengakuan ini bukan semata-mata karena keberadaan mereka di dalam kota, melainkan karena keterlibatan aktif mereka dalam aktivitas publik formal atau berkat kerja LSM-LSM, akademisi dan pejabat negara. Tetapi, sektor atau komunitas mana yang teridentifikasi sebagai bagian dari kaum marjinal ternyata tetap beragam. Dalam kaitannya dengan proses partisipatif di semua level kota, tingkat keterlibatan kelompok-kelompok marjinal meningkat ketika organisasi mereka lebih terkelola dan menjadi dikenal.

Dinamika dan Tuntutan Kelompok Marjinal di Kota Solo
Cerita singkat berikut adalah mengenai dua dari sejumlah kelompok marjinal di Kota Solo, yaitu kelompok pedagang asongan dan pengemudi becak, yang akan mengilustrasikan dinamika kehidupan mereka dan relasinya dengan kebijakan perkotaan.

Pedagang Asongan
Pedagang asong membawa barang dagangannya (seperti makanan, minuman, rokok, koran) dalam sebuah keranjang atau kotak. Mereka beroperasi di dekat pasar, terminal, stasiun atau lampu lalu lintas. Di beberapa wilayah, seperti di terminal bus, keberadaan mereka jelas-jelas terlarang. Sebuah pasal dari Peraturan Daerah No. 5/1995, tentang “Terminal Bus”, menyatakan bahwa: Tak seorang pun di wilayah terminal diizinkan untuk bertindak secara terbuka atau tersembunyi seperti calo, pedagang asongan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, pemulung, penyemir sepatu, renternir/pelepas uang, berjudi, dan lain-lain.

Kelompok-kelompok marjinal tentunya percaya bahwa sebagian aktivitas ini sah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa perda ini bersifat diskriminatif sebab perda itu membatasi hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara setara di tempat kerja. Karenanya, mereka terus menuntut agar perda tersebut direvisi. Perda ini dipakai sebagai landasan oleh penjaga keamanan terminal untuk mengambil tindakan tegas. Sekelompok pedagang asongan di Terminal Tirtonadi ditangkap oleh petugas keamanan terminal, barang dagangan mereka dan perlengkapannya dilemparkan dan mereka diperlakukan secara “tidak manusiawi”, seperti ditendang. Tak hanya pedagang asongan, tetapi musisi jalanan di terminal itu juga mengalami masalah serupa.

Kira-kira pada waktu bersamaan, sekelompok pedagang asongan di Stasiun Balapan juga mengalami masalah serius. Pada 2001, 78 pedagang asongan di stasiun Balapan, 90% darinya adalah perempuan, mengalami marjinalisasi yang sangat gamblang. Sebuah kebijakan baru untuk mengubah jadwal kereta diperkenalkan dan kereta kelas ekonomi tidak lagi berhenti di Stasiun Balapan, tetapi di Satsiun Jebres kira-kira 3 kilometer dari Stasiun Solo Balapan. Kebijakan ini dibuat oleh manajemen regional perusahaan kerta api milik pemerintah tanpa konsultasi atau penjelasan memadai kepada para pedagang asongan. Dicurigai bahwa PT KAI memiliki agenda tersembunyi sebab ia sudah membangun sejumlah kios yang menjual snack dan makanan di Stasiun Jebres.

Sebagai akibat kebijakan ini, pendapatan pedagang asongan di Balapan merosot hingga separuh. Kondisi ini menjadi lebih buruk ketika ketentuan lain diambil, seperti merelokasi kursi tunggu dari sisi utara rel stasiun ke sisi selatan. Yang sungguh membuat marah pedagang asongan adalah bahwa, sesudah itu, izin di sisi selatan rel stasiun diberikan pedagang pedagang-pedagang baru yang mempunyai koneksi pribadi dengan pejabat tinggi di PT KAI. Mereka menjual dagangan yang sama kepada pedagang asongan yang ada tetapi penjualan mereka sekitar lima kali lipat dari mereka pedagang lama yang kini menempati sisi utara rel stasiun. Menilai dari kasus ini, tampaknya keputusan-keputusan yang mempengaruhi mata pencaharian kelompok pedagang asongan ini dimonopoli oleh penguasa formal (kepala stasiun dan pejabat tingkat tinggi PT KAI). Pembuatan keputusan secara sepihak, atas “pelayanan yang lebih baik kepada konsumen” dirasakan tidak adil dan tidak manusiawi oleh para pedagang asongan.

Para pedagang asongan, mencoba sejumlah hal untuk menyuarakan perasaan mereka, menghubungi kepala stasiun dan anggota DPRD. Merasa bahwa ini bukan wilayah otoritasnya, Dewan lepas tangan, yang menjadi alasan mengapa kelompok pedagang asongan tidak mempercayai wakil terpilih mereka. Jika DPRD Solo dan eksekutif Kabupaten Solo berkehendak menekan pejabat perusahaan tersebut yang ada di Yogyakarta dan Bandung , maka keputusan-keputusan itu boleh jadi berbeda. Namun, tampaknya para pedagang asongan ini juga terpinggirkan di Solo untuk bisa memengaruhi representasi lokal.

Satu-satunya pihak yang masih mau mendengar pedagang asongan adalah LSM dan organisasi mahasiswa. Mereka melakukan jajak pendapat di atas kereta dan mendapat 227 responden. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan responden, yang menggunakan jasa kereta api, tidak setuju dengan kebijakan baru untuk mengubah tempat pemberhentian bagi kereta ekonomi. Namun, hal ini tidak mendorong sedikit pun perubahan kebijakan. Kebijakan menyangkut pedagang asongan di stasiun Solo Balapan dibuat di Yogyakarta dan Bandung tempat kantor wilayah dan nasional PT KAI berada, dan karena itu melampaui kemampuan pedagang asongan stasiun dan LSM Solo untuk mempengaruhi.

Walaupun pedagang asongan merasa sedikit skeptis mengenai nasib mereka, mereka tak pernah berhenti mencoba menemukan solusi mereka sendiri. Misalnya, beberapa orang coba diam-diam melompat ke kereta dan coba menjajakan dagangan mereka di kereta kelas eksekutif ketika kereta itu berhenti di stasiun Balapan (yang sesungguhnya sangat dilarang). Tetapi, hanya pedagang asongan laki-laki yang bisa melakukan tindakan berisiko ini. Jika mereka tertangkap, tentu mereka akan bermasalah, sehingga mereka terus hidup dalam ketakutan. Upaya terus-menerus pedagang asongan untuk bernegosiasi dengan petugas stasiun membawa sedikit perubahan. Sekarang, pedagang asongan (khususnya wanita) dibolehkan membawa barang dagangannya dan meletakkannya di tempat jalan penumpang beberapa saat sebelum kereta di Solo Balapan meninggalkan stasiun.

Pengemudi Becak
Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga manusia. Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di kalangan kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar. Tetapi, berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan anggota kelompok ini di Solo, persepsi ini belum tentu benar. Sekalipun kebanyakan mereka tidak menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di Solo sangat berwawasan tentang situasi sosial dan politik. Anak-anak mereka biasanya menyelesaikan SMA, sebagian sedang belajar di universitas. Berdasarkan data resmi, jumlah pengemudi becak yang beroperasi di Solo adalah 7.150. laporan CDS tahun 2003 menyatakan bahwa populasi pengemudi becak di Surakarta adalah 10.625. tetapi, juru bicara dari perkumpulan pengemudi becak menyatakan bahwa minimal ada 14.000 becak yang beredar di Solo. Informasi berbeda mengenai jumlah becak bisa dilihat sebagai indikasi sulitnya penguasa dalam menangkap besarnya masalah yang menyangkut sektor informal atau, seperti juga terjadi dalam kasus lain seperti pedagang kaki lima, sebuah jumlah yang over-estimated adalah cara yang digunakan oleh kelompok marjinal untuk mendorong lebih banyak tekanan pada pejabat publik dan politisi.

Kebijakan dasar yang diimplementasikan oleh pemerintah Kotamadya Solo menyangkut becak berganti-ganti antara “penertiban” dan “penghapusan” mereka. Perda No. 9/1991 hendak mengatur keberadaan pengemudi becak di Solo dengan mengurangi jumlahnya secara bertahap. Berapa banyak pengemudi becak yang dibolehkan beroperasi di Solo setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa konsultasi dengan beragam perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini juga mengatur waktu operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja siang dan waktu kerja malam. Pengemudi becak dari wilayah lain dilarang memasuki Kota Solo. Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak memiliki surat izin dan registrasi, tetapi kebijakan ini sangat dicemooh.

Peraturan tambahan mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak melintasi jalan-jalan tertentu seperti Jalan Jenderal Sudirman, di mana Balai Kota terletak. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu lintas dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mengenai transportasi di Solo cenderung meningkatkan level kompetisi di antara (mungkin) jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan transportasi publik jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu menambah jumlah rute transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci . Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari pengemudi becak. Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan sehari-hari meningkat: Ada rute yang biasa menjadi milik kami, tetapi kini dipakai oleh angkutan. DLLAJ sangat aktif mengeluarkan izin operasi baru, sehingga pengemudi becak merasa hak-hak mereka “diserobot” oleh rute angkutan nomor 03,05, 04, 09.

Menanggapi kondisi ini, perkumpulan pengemudi becak secara aktif mengadvokasikan kepentingan mereka kepada pemerintah daerah. Di samping paguyuban lokal, berdasarkan lokasi kerja pengemudi becak, terdapat setidaknya empat asosiasi level kota. Salah satu asosiasi yang paling konsisten melakukan tuntutan akan peran serta dalam pengambilan keputusan adalah PPBS (Paguyuban Pengemudi Becak Solo), yang dibentuk pada 1996. Pada April 2002, seorang ketua PPBS menyatakan bahwa pendapatan anggotanya menurun sebagai akibat kebijakan-kebijakan sepihak yang ditetapkan oleh DLLAJ, seperti keputusannya tentang area yang terlarang bagi pengemudi becak (pembebasan kawasan becak) serta keputusannya mengenai penerapan peraturan yang mengatur bagaimana beroperasinya becak. Mereka meyakinkan DLLAJ untuk melibatkan pengemudi becak dalam membuat keputusan apa pun menyangkut pengemudi becak.

Pada Maret 2002, untuk mengimplementasikan perda No.9/1991, Surat Edaran No. 5551.2/829 dikeluarkan oleh DLLAJ, yang mengumumkan bahwa Dinas tersebut berencana mengadakan sebuah kegiatan untuk memperbaiki “keselamatan, ketertiban, dan keteraturan lalu lintas” yang disebut “Operasi Penertiban”. Pengemudi becak dari berbagai asosiasi termasuk PPBS sangat menentang kebijakan ini. Ratusan pengemudi becak berkumpul untuk berdemonstrasi di DPRD dan menggelar dialog dengan anggota eksekutif dan legislatif. Hasilnya, operasi tersebut “ditangguhkan”. Pada Agustus 2003, akses ke Jalan Jenderal Sudirman tertutup bagi pengemudi becak. Kali ini asosiasi pengemudi becak FKKB yang mengawali protes untuk menolak kebijakan baru DLLAJ ini. Demikian pula, FKKB juga menuntut dilibatkannya mereka dalam pembuatan keputusan. Hasil dari protes ini adalah mereka dibolehkan melewati jalan Sudirman lagi, tetapi tidak boleh berhenti atau menunggu penumpang di sepanjang jalan itu.

Walaupun berhasil mengubah beberapa kebijakan, nasib pengemudi becak selalu dalam bahaya. Pada April 2003 pemerintah daerah Solo mengeluarkan sebuah izin untuk beroperasinya Bajaj. Lagi-lagi, kebijakan ini sangat ditentang oleh pengemudi becak Solo. Awalnya, wakil-wakil dari PPBS pergi ke kantor DPRD untuk menyampaikan penolakan mereka atas keputusan ini. Menyusul aksi ini, ratusan pengemudi becak membentuk suatu aliansi; Front Becak Anti Bajaj. FBAB menggelar serangkaian demonstrasi protes di kantor DPRD. Mereka berhasil menekan Ketua dan anggota DPRD untuk menandatangani sebuah pernyataan bahwa mereka mendukung aspirasi pengemudi becak untuk menolak beroperasinya bajaj di Solo. Sesudah berhasil menekan DPRD, mereka menggelar aksi lagi di kantor Walikota dan menekan Walikota. Terancam oleh pengemudi becak yang menjadi antagonis terhadap partai PDIP-nya, akhirnya Walikota setuju menghentikan kebijakan itu.

Mengapa protes ini berhasil? Ada beberapa kemungkinan penjelasan. Bisa jadi serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi becak menakutkan bagi pemerintah daerah dan anggota legislatif bahwa demo itu bisa berubah menjadi kerusuhan yang tak terkendali, sehingga mereka merasa tak punya pilihan lain selain sepakat menghentikan kebijakan ini. Kemungkinan lain adalah bahwa gerakan pengemudi becak punya kekuatan lain, afiliasi politiknya dengan partai yang berkuasa, PDIP. Ketua DPRD serta Walikota berasal dari partai ini dan sudah menjadi pengetahuan publik bahwa pengemudi becak di Solo adalah pendukung kuat PDIP. Para pengemudi becak telah efektif menggunakan akses mereka kepada para politikus di dalam gerakan mereka.

Pada 2004, menyadari bahwa “kemenangan” mereka tidak akan bertahan lama, asosiasi pengemudi becak, dipimpin oleh FKKB, memusatkan gerakan mereka pada penyusunan sebuah draft untuk perda mengenai pengemudi becak. Draft tersebut diberikan kepada anggota legislatif 2004 yang baru saja terpilih dan meminta menandatangani sebuah tanda terima dengan pernyataan bahwa mereka berjanji membawa dan memperjuangkan draft tersebut untuk didiskusikan di pertemuan-pertemuan DPRD ke depan. 25 dari 40 angggota legislatif menandatangani.

Apa Tuntutan Kelompok-Kelompok Marjinal?
Kelompok Marjinal di Solo percaya bahwa dalam banyak kasus, mereka dimarjinalkan oleh kondisi struktural yang membuat mereka tak mampu menemukan kerja dan sedikit harapan untuk meningkatkan gaya hidup mereka: Jika kami miskin, itu karena kami dibuat miskin. Sehingga, istilah yang tepat adalah bahwa kami dipinggirkan.

Seperti dapat dipelajari dari pengalaman di atas, ada kondisi struktural dari marjinalisasi multisisi di wilayah-wilayah perkotaan Indonesia: (1) karakter kebijakan kota, yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dan investasi; (2) sedikitnya akses kelompok sosial tertentu terhadap proses pengambilan keputusan, dan (3) kurangnya transparansi dan keterbukaan dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan kota. Nasib kelompok-kelompok marjinal juga dipengaruhi oleh sikap pejabat pemerintah. Sikap pemerintah terhadap kaum marjinal beragam mulai dari ketidaksukaan ekstrem karena yakin bahwa keberadaan mereka ilegal hingga menoleransi keberadaan mereka sepanjang tidak menentang peraturan secara terbuka. Pemerintah menyingkirkan mereka ketika keputusan-keputusan dibuat dan selanjutnya menolak dan mengabaikan kondisi orang yang tak berdaya.

Kaum marjinal Solo menyadari bahwa mereka lemah di hadapan kebijakan-kebijakan publik, mulai dari kebijakan upah, kebijakan pajak, kebijakan investasi, kebijakan sosial dan program-program seperti pembangunan kembali kota dan pemerindahan kota. Kebijakan-kebijakan dan program-program ini sering kali secara langsung berhubungan dengan peluang pendapatan, baik secara positif maupun negatif. Kaum marjinal di Solo semuanya merasa bahwa mereka direndahkan dan kontribusi mereka terhadap ekonomi tidak diakui. Mereka marah bahwa mereka tidak dikehendaki dan banyak yang bahkan dianggap “sampah” kota.

Belajar dari cerita tentang kaum marjinal Solo ini, jelaslah bahwa mereka memahami diri mereka sebagai “korban kebijakan negara”. Kebanyakan kebijakan ditetapkan oleh penguasa untuk melindungi kepentingan mereka sendiri dan kepentingan teman bisnis mereka. Kebijakan-kebijakan seperti kapan dan di mana pengemudi becak bisa beroperasi, dan di mana kereta api akan berhenti, sesungguhnya tidak mempertimbangkan orang yang dipengaruhi/terkena imbas kebijakan ini. Perda-perda dirancang dengan cara memberikan kekuasaan kepada Walikota untuk mengambil keputusan. Dalam banyak kesempatan, perda-perda ini jelas-jelas merusak peluang pendapatan dan kondisi hidup kaum marjinal. Akan tetapi, tuntutan utama kaum marjinal tidak menyangkut peluang pendapatan saja, melainkan keinginan mereka untuk diakui dan didengar tatkala kebijakan-kebijakan atau program-program tengah didesain. Di Solo, tiap-tiap kelompok relatif terorganisasi dengan baik dan memiliki keterampilan untuk memobilisasi aksi lebih lanjut. Mereka memiliki strateginya sendiri untuk melawan kebijakan pemerintah dan/atau pengusaha yang merusak, sekalipun dalam banyak kasus hanya meraih sedikit sukses. Dukungan dari institusi luar, seperti media, LSM, dosen, dan organisasi mahasiswa, bisa sangat membantu mereka.

Penulis adalah: anggota badan pembina Yayasan AKATIGA

MARJINAL

Marjinal adalah nama sebuah grup musik beraliran punk-rock yang berasal dari Jakarta, Indonesia. Kelompok musik ini sebelumnya bernama Anti ABRI, bersamaan dengan berubahnya nama institusi militer di Indonesia, nama Anti ABRI-pun berubah lagi menjadi Anti Military.

Melalui lirik-lirik lagunya, Marjinal dapat dikategorikan sebagai kelompok musik berhaluan anarko-punk, karena liriknya banyak memuat tema-tema politik, dan semangat perubahan sosial.

Beberapa lagu yang diciptakan oleh mereka banyak dinyanyikan oleh para aktivis yang sedang berdemonstrasi.

Sejak berdirinya, kelompok ini telah menghasilkan beberapa album, diantaranya adalah:
Anti Military

Termarjinalkan

Predator


Marjinal besar di punker tetapi ia inginkan perubahan untuk anak-anak punk , Marjinal mendeklarasikan dirinya adalah anak punk Elite dengan kata lain ia jauh dari kehidupan punk yang berpakaian gembel dan identik dengan minuman ia hanya eksis di dunia musiknya sajah.Tetapi apa yang di lakukan oleh anak-anak Marjinal merupakan suatu blunder buat dirinya sendiri,anak-anak punk senjati mengatakan Bahwa Marjinal adalah Penghianat Punkers dan mulai di tinggalkan dan di jauhi oleh komunitas punkers.



tertindas. Dan perlu diketahui bahwa Marjinal tidaklah sebuah group band (walaupun rockstar semuanya he he hee) tetapi Marjinal lebih mengaktualisasikan dirinya debagai komunitas.
Marjinal juga terkenal sebagai Taring Babi, AFRA (Anti Fasis Anti Rasis), dan Tempe Quality. Ini mempunyai arti bahwa mereka ingin menghancurkan system kepakeman yang berlaku sekarang ini.
Marjinal adalah komunitas yang terbuka untuk siapa saja yang ingin ikut melawan penindasaan dengan acara yang independen, kreatif, dan adil.

Kegiatan
Selain bermusik, Marjinal juga terlibat aktif dalam gerakaan perlawanan terhadap system yang menghegemoni. Marjinal sering melakukan pengorginisiran dan bekerja sama dengan komunitas yang lain. Marjinal juga melakukan perlawanan lewat graffiti, cukil, sablun, emblem, pin, dan rumah komunitas marjinal selain sebagai 'home base' juga sebagai media pendidikan dan distro.

MARJINAL a.k.a ANTI MILITARY

Dikirim pada 28-12-2006 oleh: Anarch[Oi]!
Tag: cuap-cuap

Dibawah ini adalah wawancara dengan Marjinal, band yang terkenal sebagai band yang memiliki semangat perlawanan yang kuat… Wawancara ini dikutip dari KEMERDEKAAN ZINE
Pertanyaan yang sangat membosankan, tolong ceritakan awal berdirinya band kalian, MARJINAL dan siapa saja tukang protes didalamnya………. Awal kami membentuk band itu pada tahun 1997, dengan bersandang nama ANTI ABRI, dimana secara kebetulan kami anti kekerasan, dan ABRI salah satu kuat membudayakan kekerasan. Kami sering bermain pada event-event bebas. Disaat-saat selalu bersama-sama (dadakan), lantas kami buat ANTI-MILITARY, karena ABRI sudah diganti. Yang album pertama pada tahun 1999, album kedua pada tahun 2000 dengan personil yang selalu berganti-ganti dan kami suka itu. Dan yang terdata, ROMY JAHAT (biduan), CHE MONKEY (ritem), BOB Oi! (bas), STEVE (dram), MIKE (melodi), ACAY LEE (dram), EKAL (vokal), SISI (vokal), ABLEH (ritem), ASEP (vokal) dan ARIEF (dram)…..yang sekarang…..lalu, kami keluarkan MARJINAL. Semua tukang protes.

Dulu nama band kalian adalah ANTI-MILITARY, mengapa kalian merubah nama band kalian menjadi MARJINAL, tolong ceritakan latar belakang kalian merubah nama band kalian………. Kebutuhan kami membuat nama MARJINAL dikarenakan masih memiliki hubungan dengan Anti ABRI dan Anti Military….. dan perlu digaris bawahi kami tidak mengganti nama tapi kami membuat dan menggunakan nama MARJINAL sebagai proses titik balik untuk menjawab persoalan-persoalan obyektif. Agar, minimal diketahui oleh khalayak banyak seperti istilah Anti ABRI, Anti Military. Kenapa harus anti dan istilah MARJINAL, siapa itu ‘Marjinal’, bagaimana terjadinya marjinalisasi dan lain-lain. Demikian kawan!

Dalam lirik kalian sebelumnya (Anti-Military), banyak sekali konsep pemikiran budaya perlawanan khususnya Anarkis serta variannya. Tolong ceritakan cara pandang kalian tentang konsep pemikiran tersebut………. Kami lebih memfungsikanAnarkisme dan variannya adalah sebatas referensi, bukannya mengadopsi mentah. Kami lebih mengupayakan melihat, merasa, mendengar dan meraba situasi serta kondisi yang mempengaruhi kami.

Dalam bermusik, tentu kalian lebih mengutamakan lirik. Sejauh mana pandangan kalian tentang konsep lirik tersebut dan bagaimana juga cara kalian dalam merealisasikannya dalam masyarakat………. Sejauh mataku memotret kejadian, sejauh aku mengepakkan sayap dan merambat. Dan sejauh roda gerigi otak-otakku bekerja. Dengan banyak cara dan kami percaya dan yakini ada 1001 macam aksi yang dapat kami lakukan. Adalah sebuah kontradiksi, untuk membantu menciptakan sebuah pemikiran yang notabene masyarakat kita selalu diorientasikan dalam pemikiran yang seragam dan searah. Masyarakat yang berdiri diatas nilai-nilai kemanusiaan, tolong-menolong, si kaya bantu si miskin, kuat bantu lemah, saling menghormati dan menghargai. Kami tidak bisa mendeteksi hal itu, terserah! …..Yakin, karena manusia itu adalah berfikir secara rasional.

Bagaimana pandangan kalian tentang politik dan punk, apakah bisa berjalan/ seimbang, sedangkan secara obyektif punk yang selama ini merupakan Counter-Culture (budaya perlawanan), sekarang ini telah mengalami dekadensi dan pola gerakan mereka yang cenderung berjalan sendiri-sendiri dan bergerak secara elitis. Malahan cenderung menciptakan suatu kontradiksi di dalamnya. Contohnya antara apolitikal dan politikal, bagaimana pandangan kalian dalam hal ini………. Pandangan kami dalam hal ini bahwa politik bisa berjalan seimbang dengan punk, karena punk itu sendiri adalah politik dan politik yang melahirkan punk. Tanpa politik takkan melahirkan punk, dan bila hanya punk hanya itu hanya sebuah kata tidak melahirkan tindakan, karena politik (POLI dan TIK = banyak cara. Pandangan kami dalam kontradiksi di dalam punk adalah sesuatu yang wajar dan kami melihatnya sebagai proses pendewasaan (kontradiksi melahirkan dialektika).

Menanggapi masalah globalisasi yang sudah masuk ke negara-negara dunia ketiga (khususnya Indonesia), yang berbasis pada industrialisasi dan ekonomi secara struktural, cara-cara apakah yang relevan untuk membendung ruang gerak mereka selama ini………. Bentuk sel-sel baru, untuk menggempur lawan dengan syarat terjun ke kantong-kantong masyarakat untuk belajar dan bekerja sama-sama. Yakini tanpa mereka (masyarakat) tidak akan pernah menciptakan perubahan.

Proses reformasi dan demokratisasi yang selama ini diagungkan oleh rakyat Indonesia, tidak berjalan seperti yang mereka impikan. Bagaimana tanggapan kalian dalam hal ini? Dan tatanan masyarakat yang bagaimana yang kalian inginkan………. Ya, jelaslah…..proses reformasi dan demokratisasi hanya menjadi terminologi untuk mengantar sebuah kekuasaan baru. Jadi impian masyarakat mengenai demokrasi hanya sekedar impian tok, jikalau sistem yang masih dikuasai oleh segelintir kaum minoritas. Tatanan masyarakat yang berasakan nilai kemanusiaan. Manusia makhluk yang sosial, manusia makhluk yang berpikir, makhluk yang merdeka, yang bukan gembala dan yang berakal budi pekerti yang tinggi.

Oke, kembali berbicara tentang MARJINAL, terpikir tidak dalam diri kalian untuk bergabung dengan major label dengan tujuan untuk mensosialisasikan ide-ide penikiran kalian dalam jangkauan masyarakat luas dan secara tidak langsung memberikan penyadaran kepada mereka. Contoh seperti RAGE AGAINST THE MACHINE, CHUMBAWAMBA ataupun IWAN FALS (seperti album lamanya), bagaimana menurut kalian………. Terpikir sih, tapi kami tidak tertarik tuh, dengan disiplinier recording Indonesia khususnya. Biasanya yang menciptakan teman-teman menjadi obyek, berbeda dengan CHUMBAWAMBA, R.A.T.M dan IWAN FALS. Mereka telah memenangkan pasar. Oleh sebab itu, mari kita ciptakan kerjasama yang kuat dilingkungan kita, pada khususnya. Dengan ciptakan masyarakat yang kreatif dan produktif sebagai perlawanan terhadap kapitalisme.

Mendengar kabar bahwa salah satu album kalian, dirilis juga oleh salah satu rekord di Australia. Bisa ceritakan hal itu………. Tepatnya kami tidak tahu rekord tersebut. Tetapi yang kami tahu kaset kami akan dibajak disana oleh sekelompok kawan yang tergabung didalam komunitas sosialis di Australia.

Untuk menutup interview ini, ada yang kalian ingin sampaikan untuk semua yang membaca interview ini………. Jangan hanya untuk percaya saja karena manusia diciptakan untuk berpikir.

MARJINAL//ANTI-MILITARY
P.O. BOX 7735 JKS LA, JAKARTA 12077 INDONESIA.
e-mail : taringbabi@yahoo.com


Kontak
a: Jl. Moh Kafi II, Gg Setiabudi No. 39,
Rt.11, Rw.8 Srengsengsawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
12640, Indonesia
t: 021-7270666
e: taringbabi@yahoo.com

The Chicago Boys

Pada 3 Nopember 1970, Chile membuat sejarah dalam gerakan kiri internasional. Untuk pertama kalinya, calon presiden dari partai sosialis menjadikan instrumen pemilu sebagai jalan merebut kekuasaan dan menang. Calon itu adalah Salvador Isabelino del Sagrado Corazón de Jesús Allende Gossens atau lebih dikenal dengan nama Salvador Allende. Ia diusung oleh sebuah koalisi bernama Unidad Popular (UP) atau Persatuan Rakyat. Koalisi ini terdiri dari Partai Sosialis, Partai Komunis, Partai Radikal, MAPU (Movimiento de Accion Popular Unitario), dan pembangkang dari Partai Kristen Demokrat.

Segera setelah berkuasa, pemerintahan Allende memberlakukan serangkaian kebijakan radikal dalam bidang ekonomi: nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, nasionalisasi perbankan, peningkatan upah buruh, alokasi anggaran yang besar pada sektor pendidikan dan kesehatan, program susu gratis bagi anak-anak, menolak pembayaran utang luar negeri, dan memberlakukan kebijakan land reform. Seluruh program ini diberi label “Chilean road to socialism.”



Dalam waktu singkat, seluruh kebijakan radikal ini telah menjadikan Allende sebagai musuh bersama bagi pemerintah Amerika Serikat, korporasi asing, para tuan tanah dan borjuasi domestik, gereja Katolik Roma, dan sebagian faksi dalam militer. Pemerintahan Richard Nixon di Washington, misalnya, memandang pemerintahan Allende sebagai ancaman terbesar bagi kepentingan ekonomi dan geopolitiknya di kawasan Amerika Latin. James Petras dan Morris Morley, mencatat, investasi swasta langsung perusahaan-perusahaan AS di Chile hingga tahun 1970 mencapai $1.1 miliar dari total perkiraan investasi asing sebesar $1.672 miliar. Lebih lanjut mereka mengatakan, korporasi AS dan asing lainnya mengontrol hampir seluruh sektor-sektor ekonomi vital dan paling dinamis Chile: mesin dan peralatan (50%); besi, baja, dan produk-produk metal (60%); industri dan kimia lainnya (60%); produk-produk karet (45%); perakitan otomotif (100%); radio dan televisi (100%); farmasi ( mendekati 100%); kantor perlengkapan (mendekati 100%); tembakau (100%); pabrik tembaga (100%); dan periklanan (90%). Satu-satunya pendapatan terbesar Chile dari perdagangan internasional yakni tembaga, 80 persen pengelolaannya dikontrol oleh korporasi AS.

Demikianlah, umur pemerintahan Allende ini telah bisa diduga. Apalagi, seperti ditulis Jonathan Haslam, pada dasarnya secara politik pemerintahan Allende adalah pemerintahan yang lemah. Dalam pemilu 1970, ia hanya meraih 36.2 persen suara, unggul tipis atas mantan presiden Jorge Alessandri (34.9%), dan atas Radomiro Tomic dari Partai Kristen Demokrat (27.8%). Maka, ujung dari cerita ini telah kita ketahui bersama: pada 11 September 1973, pemerintahan Salvador Allende dijatuhkan melalui kudeta militer paling berdarah sepanjang sejarah politik modern Chile.

Persekutuan Tidak Suci

Setelah kekuasaan berhasil dikonsolidasikan, rejim junta militer di bawah jenderal Augusto José Ramón Pinochet Ugarte atau Augusto Pinochet, segera memutarbalik gerbong kebijakan pemerintahan Allende. Pinochet mengembalikan seluruh perusahaan yang telah dinasionalisasi, mengundang investor asing dengan meliberalisasi sektor keuangan dan perdagangan. Di bidang politik, Pinochet memberangus kebebasan pers, membekukan seluruh aktivitas partai politik dan organisasi massa, terutama yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan Salvador Allende. Ia juga melancarkan pembunuhan politik besar-besaran, memenjarakan dan mengasingkan lawan-lawan politiknya.

Tetapi, jika secara politik Pinochet sukses, tidak demikian secara ekonomi. Ia gagal merestorasi kembali bangunan ekonomi kapitalis yang coba dihancurkan Allende. Sektor ini seperti “terra incognita” bagi angkatan laut yang diserahi tanggung jawab mengurusinya. Satu-satunya patokan adalah mengganti seluruh kebijakan ekonomi yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintah Allende. Pada saat inilah, rejim junta menerima uluran tangan dari sekelompok ekonom jebolan universitas Chicago, AS, di bawah bimbingan profesor Milton Friedman dan Arnold Harberger dari Chicago School of Economics. Para ekonom yang terdiri dari 25 sampai 30 orang ini, kemudian terkenal dengan sebutan the Chicago Boys.

Sebelum kudeta berlangsung, sebenarnya telah terjadi kontak antara angkatan laut dengan kelompok ini. Menurut Michael Rösch, kontak pertama terjadi pada 1973 yang difasilitasi oleh koran “El Mercurio.” Pada akhir tahun 1973, kontak kian intensif terlebih ketika pejabat tinggi angkatan laut mengetahui bahwa kelompok ini turut dibiayai oleh CIA. Namun, setelah kudeta kontak antara kedua kelompok ini agak mengendur. Sebabnya, junta militer lebih mempercayai beberapa anggota Partai Kristen yang konservatif tapi, memiliki reputasi internasional yang tinggi. Mereka misalnya, Sergio Molina, mantan menteri keuangan d bawah presiden Eduardo Frei Montalva, atau Carlos Massad dan Raúl Sáez yang juga menduduki posisi penting dalam pemerintahan Frei.

Tetapi, kontak dengan elemen konservatif dari Partai Kristen ini tak berlanjut, lantaran sebagian besar pendukung Partai Kristen menolak kerjasama tersebut, karena secara politik dianggap tidak menguntungkan. Pada saat yang sama, kelompok Chicago Boys mengatakan, untuk mengubah secara radikal masyarakat dan mentalitas rakyat Chile, satu-satunya cara adalah melakukan perubahan mendasar dalam bidang ekonomi. Dan seperti dikatakan Rösch, sejak saat itu kontak antara rejim junta dengan kelompok the Chicago Boys ini semakin penting.

Dalam waktu singkat, kelompok ini menduduki jabatan-jabatan strategis dalam rejim militer pimpinan Pinochet. Sergio de Castro, dekan fakultas ekonomi Universitas Katolik Chile, yang dianggap sebagai pemimpin kelompok the Chicago Boys, diangkat sebagai menteri keuangan (1974-1982); Pablo Baraona menjadi menteri ekonomi (1976-1979); Álvaro Bardón menteri ekonomi (1982-1983); Hernán Büchi menteri ekonomi (1979-1980); dan selanjutnya menteri keuangan (1985-1989); Robert Kelly menteri ekonomi (1978-1979); Fernando Léniz menteri ekonomi (1973 - 1975); Emilio Sanfuentes sebagai penasehat ekonomi di Bank Sentral; Juan Villarzú menjabat sebagai direktur anggaran; dan Jorge Cauas sebagai menteri perumahan (1975).

Pada bulan Maret 1975, kelompok ini menggelar seminar ekonomi yang mendapat perhatian luas media nasional. Dalam seminar tersebut, mereka memaparkan proposal penyelamatan ekonomi Chile melalui program pengetatan radikal, yang disebut shock treatment atau terapi kejut. Dalam seminar itu juga, mereka mengundang Milton Friedman dan Arnold Harberger, sehingga tak aneh jika proposal pengetatan ekonomi ini memperoleh sambutan luar biasa. Dalam proposal tersebut dicantumkan serangkaian program seperti pengurangan drastis suplai uang dan pengeluaran pemerintah, privatisasi pelayanan-pelayanan pemerintah, deregulasi pasar besar-besaran, dan liberalisasi perdagangan internasional.

Segera setelah seminar tersebut, pemerintah Chile meluncurkan program pemulihan ekonomi (Economic Recovery Program/ERP). Fase pertama dari kebijakan terapi kejut ini adalah mereduksi suplai uang dan pembelanjaan pemerinta, yang diikuti dengan pemotongan inflasi hingga level yang bisa diterima. Namun demikian, kebijakan ini menyebabkan meningkatnya angka pengangguran dari 9.1 menjadi 18.71 persen antara 1974 dan 1975. Selain itu pula, seluruh program pemulihan ekonomi ini dilakukan ditengah-tengah tidak adanya demokrasi. Di sini peran Pinochet adalah mendukung dan merepresi seluruh tantangan yang menghambat kerja-kerja the Chicago Boys. Dengan demikian, buruh dan sektor rakyat miskin lainnya menerima program terapi kejut ini di bawah todongan senapan.

Pada pertengahan 1976, ekonomi Chile mulai membaik. Dan sejak 1978 hingga 1981, hasil dari program terapi kejut ini menggembirakan pemerintahan Pinochet dan dunia internasional. Friedman menyebut sukses ekonomi Chile sebagai the economic miracle, sementara IMF dan Bank Dunia menjadikan sukses Chile sebagai contoh yang pantas bagi negara berkembang lainnya. Investasi dan bantuan asing mengucur deras ke Chile, meningkat tiga kali lipat antara 1977 hingga 1981. Sekitar 507 perusahaan negara yang dibangun sebelum atau selama pemerintahan Allende, sukses diprivatisasi menjadi tersisa 27.

Tetapi, apa sebenarnya makna dibalik pertumbuhan ekonomi yang terintegrasi secara mendalam ke dalam sistem kapitalisme? Steve Kangas mencatat, sesungguhnya pertumbuhan ekonomi Chile bersifat artifisial atau fiktif alias tidak riil. Antara 1977 dan 1981, 80 persen pertumbuhan Chile terjadi di sektor ekonomi yang tidak produktif seperti pasar dan jasa keuangan. Sebagian besar praktek spekulasi ini telah melambungkan tingkat suku bunga hingga mencapai 51 persen pada 1977. Prestasi yang tertinggi di dunia saat itu. Di samping itu, integrasi mendalam Chile pada ekonomi internasional menyebabkan sedikit saja terjadi resesi, ekonomi Chile kontan bergejolak. Misalnya, ketika terjadi resesi pada 1982, Chile merupakan negara yang menderita paling parah ketimbang negara lain di kawasan Amerika Latin. Pada 1983, ekonomi Chile benar-benar anjlok, tingkat pengangguran melonjak mencapai 28 persen.

Untuk mengatasi gelombang krisis yang makin parah, IMF mengucurkan dananya. Syaratnya, Chile harus menjamin pembayaran seluruh utang-utangnya yang mencapai total $7.7 miliar. Total pembayaran utang ini menghabiskan biaya sebesar tiga persen dari GNP Chile setiap tahunnya selama tiga tahun. Yang menarik dicatat, ketika ekonomi mengalami booming, perusahaan-perusahaan yang diprivatisasi mereguk keuntungan luar biasa besar tapi, ketika ekonomi tengah krisis utang-utang perusahaan ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Artinya, bukan keuntungan yang tersosialisasi melainkan utang.

Setelah kucuran dana IMF ini, ekonomi Chile kembali membaik pada 1984, pertumbuhan kembali tinggi mencapai 7.7 persen per tahun antara 1986 dan 1989. Tetapi, GDP perkapita pada 1986 tetap 6.1 persen, lebih rendah dari 1981. Kalau demikian, apa rekor dari keseluruhan pemerintahan rejim Pinochet ini? Mari kita dengar uraian Kangas: antara 1972 dan 1987, GNP per kapita jatuh pada level 6.4 persen. Dengan nilai dolar tetap pada 1993, GDP per kapita Chile pada 1973 mencapai angka di atas $3.600. Namun, pada masa pemulihan hingga 1993, GDP per kapita hanya berkisar $3.170. Pada akhir 1989, tingkat kemiskinan di Chile mencapai 41.2 persen, sepertiga dari mereka benar-benar dikategorikan sangat miskin. Pada 1970, konsumsi harian 40 persen kaum miskin mengandung 2.019 kalori. Pada 1981, jumlah kalori ini turun mencapai 1.751 dan pada 1990 kembali turun ke angka 1.629. Sementara itu, jumlah populasi yang tidak menempati rumah yang layak angkanya meningkat dari 27 menjadi 40 persen antara 1972 dan 1988.

Lalu, bagaimana dengan komposisi struktur sosial? Ketimpangan pendapatan di Chile merupakan yang terburuk di kawasan itu. Pada 1980, 10 persen penduduk kaya menikmati 36,5 persen pendapatan nasional. Pada 1989, meningkat menjadi 46,8 persen. Sebaliknya, 50 persen kelompok bawah pendapatan mereka jatuh dari 20.4 menjadi 16.8 persen dalam periode yang sama. Pendapatan tentu saja bukan satu-satunya ukuran ketimpangan. Produksi harus juga dilihat. Ketika the Chicago Boy meluncurkan program privatisasi, oligopoli terbentuk sangat cepat di hampir semua sektor. Sebagai contoh, di sektor industri kertas dan selulosa, jumlah industri yang bermain di sektor ini hanya ada dua sementara share industrinya mencapai 90,0 persen. Atau di sektor produk-produk hutan, jumlah industri yang berkiprah hanya lima dengan share industrinya sebesar 78,4 persen.

Demikianlah, cerita mengenai perseketuan tidak suci antara the Chicago Boys dan rejim militer ini, gagal mengantarkan Chile ke lapis atas negara makmur dan demokratis. Tetapi, walau fakta kerusakan ekonomi-politik-sosial-lingkungan sudah terang benderang, bukan berarti tak ada yang membela kelompok intelektual liberal ini. Ekonom-cum sosiolog penerima Nobel Garry Becker, menulis, kerusakan yang diderita Chile itu tak bisa semena-mena dituduhkan pada the Chicago Boys. Becker mengatakan, pasar bebas yang diusung oleh the Chicago Boys memang tak serta-merta bisa menyelesaikan masalah di Chile dan Amerika Latin lainnya. Apalagi, ide-ide merkantilis sering sekali menjadi duri penghalang bagi kelancaran kerja mekanisme pasar. Sementara, mengenai gagalnya demokrasi di Chile, Milton Friedman, guru dari the Chicago Boys itu, malah tak melihatnya sebagai sebuah soal. Ia bahkan memberi apresiasi mendalam terhadap Pinochet yang mau dan bersedia mendukung prinsip-prinsip pasar bebas. “Hasilnya luar biasa”, demikian Friedman, “inflasi turun secara drastis.”

Tapi, bagaimana dengan demokrasi? “Di Chile, dorongan bagi kebebasan politik adalah hasil dari kebebasan ekonomi, dan hasil dari sukses ekonomi ini pada akhirnya akan menghasilkan referendum yang merupakan awal bagi demokrasi politik. Sekarang, pada akhirnya, Chile akan memiliki tiga hal: kebebasan politik, kebebasan manusia, dan kebebasan ekonomi.”

Kita kemudian tahu, khotbah sang nabi neoliberal ini tak terbukti. Kebebasan politik dan demokrasi di Chile bukan hasil dari kebebasan ekonomi tapi, hasil dari perjuangan panjang gerakan progresif.***

Kepustakaan:

James Petras and Morris Morley, “The United States and Chile: Imperialism and the Overthrow of the Allende Government” Monthly Review Press, 1975.

Jonathan Haslam, “The Nixon Administration and the Death of Allende’s Chile,” Verso, London, 2005.

Michael Rösch “The meaning of technocratic elites in Chile,” http://tiss.zdv.uni-tuebingen.de/webroot/sp/barrios/themeC1f.html

Steve Kangas, “The Chicago Boys and the Chilean ‘economic miracle,” tanpa tahun.

S.E.F.T.Y.A.N A.N.D.A




 








Senyummu terpancar indah.

Engkau adalah anugerah yang hadir dan tercipta.

fantasi yang hadir tak pernah kusangka.

Tetap tertulis indah setiap waktu meski kau tlah pergi.

Yang tak pernah berhenti ku mengutas harapan pasti.

Andai angan akan menjadi asa dan harapan.

Nuansa romansa pada setiap kata terakhirku untukmu.














Ada yang hilang dari diriku.

Namun bila harus kau tetap disana , tolong ingat aku.

Dan mila mungkin kau kembali.

Ada harapan menanti kita.



download: anda 
download: ANDA