Ditulis Oleh: Hetifah Sjaifudian, Ph.D
Istilah “miskin” merendahkan martabat.
Istilah “terpinggirkan” secara politik lebih punya makna.
Klarifikasi atas Istilah: Siapakah Kelompok Marjinal itu?
Tidak ada definisi tunggal tentang siapa kelompok yang terpinggirkan. Lazim diasumsikan bahwa mereka yang tergolong kelompok terpinggirkan (marjinal) adalah mereka yang miskin. Namun, terpinggirkan dan miskin tidak serta merta sama. Orang miskin biasanya masuk dalam kelompok terpinggirkan, tetapi orang yang terpinggirkan tidak selalu bisa disebut miskin. Bagaimana lantas kelompok-kelompok terpinggirkan
mendefinisikan dirinya? Bagi mereka, kelompok terpinggirkan mencakup orang yang mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran, diskriminasi atau eksploitasi di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota. Sekalipun banyak yang mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam gaya hidup yang paling sederhana, kelompok-kelompok terpinggirkan senantiasa menolak istilah “miskin” atau “kemiskinan”.
Seorang aktivis untuk kelompok terpinggirkan bercerita bahwa istilah ‘miskin’ pernah digunakan ketika sejumlah anak muda di kota Solo membentuk organisasi bernama KMKMK (Kaum Muda untuk Kaum Miskin Kota). Namun, komunitas yang mereka dukung tidak menyukai nama itu sehingga nama organisasi itu diubah menjadi SOPING (Solidaritas untuk Kaum Pinggiran). Alasan lain yang sering dikemukakan adalah karena istilah “miskin” memiliki konotasi melarat. Kenyataannya, memang tidak semua dari kelompok marjinal di perkotaan seperti penyandang cacat atau pedagang kaki lima berada dalam kondisi seperti itu.
Bagaimana pihak pendukung upaya pengentasan kemiskinan mendefinisikan kelompok marjinal?. TKS-CDS kota Surakarta , dipelopori oleh dosen-dosen universitas setempat dan aktivis LSM, mendefinisikan kelompok terpinggirkan sebagai: “mereka yang datang dari sektor informal, yang sering tidak punya akses ke kekuasaan, dan yang memiliki pengaruh kecil dalam pembangunan”. Meskipun demikian, kelompok kerja ini tetap menggunakan istilah “kaum marjinal” dan “kaum miskin kota” secara bertukaran. Delapan kelompok marjinal dimasukkan dalam penyusunan CDS terakhir: pedagang kaki lima, komunitas pasar tradisional, pengemudi becak, pemukim liar , penata parkir, penyandang cacat, pemulung, dan musisi jalanan (pengamen). Karena dalam penyusunan oleh kelompok kerja itu yang “marjinal” terbatas pada sektor informal, maka buruh pabrik tidak termasuk. Memang, dalam proyek “partisipatif” yang didanai Bank Dunia, termasuk CDS, buruh pabrik jarang dilibatkan dalam proses itu. Kemungkinan lain adalah bahwa kelompok yang telah menghasilkan kesatuan tradisional berbasis-kelas di masa lalu tidak mendapat sambutan baik dalam iklim politik lokal di Indonesia kini. Selain itu, tampaknya kelompok yang dipilih untuk terlibat dalam CDS adalah mereka yang sudah relatif terorganisasi, sudah terlibat dalam aktivitas advokasi di tingkat kota, dan yang aktivitasnya sering diliput oleh media massa.
Bagaimanakah dengan program yang diinisiasi oleh Pemerintah Kota sendiri?. Pemerintah Kota Solo, khususnya Bapeda-nya, memasukkan PSK (Pekerja Seks Komersial) dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif tahunan mereka. Para PSK dilibatkan karena keberadaan mereka dianggap sebagai salah satu masalah sosial kota (menurut definisi pemerintah). Hal ini menandakan perbedaan perspektif—bahwa sebagian kelompok dicakup karena mereka adalah masalah bagi komunitas yang lebih luas ketimbang karena mereka miskin atau terpinggirkan. Ringkasnya, bagi Pemerintah Kota Solo, keberadaan sebagian kelompok marjinal secara umum sudah diakui (seperti PKL, pengemudi becak, penyandang cacat, bahkan PSK). Pengakuan ini bukan semata-mata karena keberadaan mereka di dalam kota, melainkan karena keterlibatan aktif mereka dalam aktivitas publik formal atau berkat kerja LSM-LSM, akademisi dan pejabat negara. Tetapi, sektor atau komunitas mana yang teridentifikasi sebagai bagian dari kaum marjinal ternyata tetap beragam. Dalam kaitannya dengan proses partisipatif di semua level kota, tingkat keterlibatan kelompok-kelompok marjinal meningkat ketika organisasi mereka lebih terkelola dan menjadi dikenal.
Dinamika dan Tuntutan Kelompok Marjinal di Kota Solo
Cerita singkat berikut adalah mengenai dua dari sejumlah kelompok marjinal di Kota Solo, yaitu kelompok pedagang asongan dan pengemudi becak, yang akan mengilustrasikan dinamika kehidupan mereka dan relasinya dengan kebijakan perkotaan.
Pedagang Asongan
Pedagang asong membawa barang dagangannya (seperti makanan, minuman, rokok, koran) dalam sebuah keranjang atau kotak. Mereka beroperasi di dekat pasar, terminal, stasiun atau lampu lalu lintas. Di beberapa wilayah, seperti di terminal bus, keberadaan mereka jelas-jelas terlarang. Sebuah pasal dari Peraturan Daerah No. 5/1995, tentang “Terminal Bus”, menyatakan bahwa: Tak seorang pun di wilayah terminal diizinkan untuk bertindak secara terbuka atau tersembunyi seperti calo, pedagang asongan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, pemulung, penyemir sepatu, renternir/pelepas uang, berjudi, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok marjinal tentunya percaya bahwa sebagian aktivitas ini sah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa perda ini bersifat diskriminatif sebab perda itu membatasi hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara setara di tempat kerja. Karenanya, mereka terus menuntut agar perda tersebut direvisi. Perda ini dipakai sebagai landasan oleh penjaga keamanan terminal untuk mengambil tindakan tegas. Sekelompok pedagang asongan di Terminal Tirtonadi ditangkap oleh petugas keamanan terminal, barang dagangan mereka dan perlengkapannya dilemparkan dan mereka diperlakukan secara “tidak manusiawi”, seperti ditendang. Tak hanya pedagang asongan, tetapi musisi jalanan di terminal itu juga mengalami masalah serupa.
Kira-kira pada waktu bersamaan, sekelompok pedagang asongan di Stasiun Balapan juga mengalami masalah serius. Pada 2001, 78 pedagang asongan di stasiun Balapan, 90% darinya adalah perempuan, mengalami marjinalisasi yang sangat gamblang. Sebuah kebijakan baru untuk mengubah jadwal kereta diperkenalkan dan kereta kelas ekonomi tidak lagi berhenti di Stasiun Balapan, tetapi di Satsiun Jebres kira-kira 3 kilometer dari Stasiun Solo Balapan. Kebijakan ini dibuat oleh manajemen regional perusahaan kerta api milik pemerintah tanpa konsultasi atau penjelasan memadai kepada para pedagang asongan. Dicurigai bahwa PT KAI memiliki agenda tersembunyi sebab ia sudah membangun sejumlah kios yang menjual snack dan makanan di Stasiun Jebres.
Sebagai akibat kebijakan ini, pendapatan pedagang asongan di Balapan merosot hingga separuh. Kondisi ini menjadi lebih buruk ketika ketentuan lain diambil, seperti merelokasi kursi tunggu dari sisi utara rel stasiun ke sisi selatan. Yang sungguh membuat marah pedagang asongan adalah bahwa, sesudah itu, izin di sisi selatan rel stasiun diberikan pedagang pedagang-pedagang baru yang mempunyai koneksi pribadi dengan pejabat tinggi di PT KAI. Mereka menjual dagangan yang sama kepada pedagang asongan yang ada tetapi penjualan mereka sekitar lima kali lipat dari mereka pedagang lama yang kini menempati sisi utara rel stasiun. Menilai dari kasus ini, tampaknya keputusan-keputusan yang mempengaruhi mata pencaharian kelompok pedagang asongan ini dimonopoli oleh penguasa formal (kepala stasiun dan pejabat tingkat tinggi PT KAI). Pembuatan keputusan secara sepihak, atas “pelayanan yang lebih baik kepada konsumen” dirasakan tidak adil dan tidak manusiawi oleh para pedagang asongan.
Para pedagang asongan, mencoba sejumlah hal untuk menyuarakan perasaan mereka, menghubungi kepala stasiun dan anggota DPRD. Merasa bahwa ini bukan wilayah otoritasnya, Dewan lepas tangan, yang menjadi alasan mengapa kelompok pedagang asongan tidak mempercayai wakil terpilih mereka. Jika DPRD Solo dan eksekutif Kabupaten Solo berkehendak menekan pejabat perusahaan tersebut yang ada di Yogyakarta dan Bandung , maka keputusan-keputusan itu boleh jadi berbeda. Namun, tampaknya para pedagang asongan ini juga terpinggirkan di Solo untuk bisa memengaruhi representasi lokal.
Satu-satunya pihak yang masih mau mendengar pedagang asongan adalah LSM dan organisasi mahasiswa. Mereka melakukan jajak pendapat di atas kereta dan mendapat 227 responden. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan responden, yang menggunakan jasa kereta api, tidak setuju dengan kebijakan baru untuk mengubah tempat pemberhentian bagi kereta ekonomi. Namun, hal ini tidak mendorong sedikit pun perubahan kebijakan. Kebijakan menyangkut pedagang asongan di stasiun Solo Balapan dibuat di Yogyakarta dan Bandung tempat kantor wilayah dan nasional PT KAI berada, dan karena itu melampaui kemampuan pedagang asongan stasiun dan LSM Solo untuk mempengaruhi.
Walaupun pedagang asongan merasa sedikit skeptis mengenai nasib mereka, mereka tak pernah berhenti mencoba menemukan solusi mereka sendiri. Misalnya, beberapa orang coba diam-diam melompat ke kereta dan coba menjajakan dagangan mereka di kereta kelas eksekutif ketika kereta itu berhenti di stasiun Balapan (yang sesungguhnya sangat dilarang). Tetapi, hanya pedagang asongan laki-laki yang bisa melakukan tindakan berisiko ini. Jika mereka tertangkap, tentu mereka akan bermasalah, sehingga mereka terus hidup dalam ketakutan. Upaya terus-menerus pedagang asongan untuk bernegosiasi dengan petugas stasiun membawa sedikit perubahan. Sekarang, pedagang asongan (khususnya wanita) dibolehkan membawa barang dagangannya dan meletakkannya di tempat jalan penumpang beberapa saat sebelum kereta di Solo Balapan meninggalkan stasiun.
Pengemudi Becak
Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga manusia. Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di kalangan kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar. Tetapi, berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan anggota kelompok ini di Solo, persepsi ini belum tentu benar. Sekalipun kebanyakan mereka tidak menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di Solo sangat berwawasan tentang situasi sosial dan politik. Anak-anak mereka biasanya menyelesaikan SMA, sebagian sedang belajar di universitas. Berdasarkan data resmi, jumlah pengemudi becak yang beroperasi di Solo adalah 7.150. laporan CDS tahun 2003 menyatakan bahwa populasi pengemudi becak di Surakarta adalah 10.625. tetapi, juru bicara dari perkumpulan pengemudi becak menyatakan bahwa minimal ada 14.000 becak yang beredar di Solo. Informasi berbeda mengenai jumlah becak bisa dilihat sebagai indikasi sulitnya penguasa dalam menangkap besarnya masalah yang menyangkut sektor informal atau, seperti juga terjadi dalam kasus lain seperti pedagang kaki lima, sebuah jumlah yang over-estimated adalah cara yang digunakan oleh kelompok marjinal untuk mendorong lebih banyak tekanan pada pejabat publik dan politisi.
Kebijakan dasar yang diimplementasikan oleh pemerintah Kotamadya Solo menyangkut becak berganti-ganti antara “penertiban” dan “penghapusan” mereka. Perda No. 9/1991 hendak mengatur keberadaan pengemudi becak di Solo dengan mengurangi jumlahnya secara bertahap. Berapa banyak pengemudi becak yang dibolehkan beroperasi di Solo setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa konsultasi dengan beragam perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini juga mengatur waktu operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja siang dan waktu kerja malam. Pengemudi becak dari wilayah lain dilarang memasuki Kota Solo. Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak memiliki surat izin dan registrasi, tetapi kebijakan ini sangat dicemooh.
Peraturan tambahan mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak melintasi jalan-jalan tertentu seperti Jalan Jenderal Sudirman, di mana Balai Kota terletak. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu lintas dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mengenai transportasi di Solo cenderung meningkatkan level kompetisi di antara (mungkin) jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan transportasi publik jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu menambah jumlah rute transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci . Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari pengemudi becak. Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan sehari-hari meningkat: Ada rute yang biasa menjadi milik kami, tetapi kini dipakai oleh angkutan. DLLAJ sangat aktif mengeluarkan izin operasi baru, sehingga pengemudi becak merasa hak-hak mereka “diserobot” oleh rute angkutan nomor 03,05, 04, 09.
Menanggapi kondisi ini, perkumpulan pengemudi becak secara aktif mengadvokasikan kepentingan mereka kepada pemerintah daerah. Di samping paguyuban lokal, berdasarkan lokasi kerja pengemudi becak, terdapat setidaknya empat asosiasi level kota. Salah satu asosiasi yang paling konsisten melakukan tuntutan akan peran serta dalam pengambilan keputusan adalah PPBS (Paguyuban Pengemudi Becak Solo), yang dibentuk pada 1996. Pada April 2002, seorang ketua PPBS menyatakan bahwa pendapatan anggotanya menurun sebagai akibat kebijakan-kebijakan sepihak yang ditetapkan oleh DLLAJ, seperti keputusannya tentang area yang terlarang bagi pengemudi becak (pembebasan kawasan becak) serta keputusannya mengenai penerapan peraturan yang mengatur bagaimana beroperasinya becak. Mereka meyakinkan DLLAJ untuk melibatkan pengemudi becak dalam membuat keputusan apa pun menyangkut pengemudi becak.
Pada Maret 2002, untuk mengimplementasikan perda No.9/1991, Surat Edaran No. 5551.2/829 dikeluarkan oleh DLLAJ, yang mengumumkan bahwa Dinas tersebut berencana mengadakan sebuah kegiatan untuk memperbaiki “keselamatan, ketertiban, dan keteraturan lalu lintas” yang disebut “Operasi Penertiban”. Pengemudi becak dari berbagai asosiasi termasuk PPBS sangat menentang kebijakan ini. Ratusan pengemudi becak berkumpul untuk berdemonstrasi di DPRD dan menggelar dialog dengan anggota eksekutif dan legislatif. Hasilnya, operasi tersebut “ditangguhkan”. Pada Agustus 2003, akses ke Jalan Jenderal Sudirman tertutup bagi pengemudi becak. Kali ini asosiasi pengemudi becak FKKB yang mengawali protes untuk menolak kebijakan baru DLLAJ ini. Demikian pula, FKKB juga menuntut dilibatkannya mereka dalam pembuatan keputusan. Hasil dari protes ini adalah mereka dibolehkan melewati jalan Sudirman lagi, tetapi tidak boleh berhenti atau menunggu penumpang di sepanjang jalan itu.
Walaupun berhasil mengubah beberapa kebijakan, nasib pengemudi becak selalu dalam bahaya. Pada April 2003 pemerintah daerah Solo mengeluarkan sebuah izin untuk beroperasinya Bajaj. Lagi-lagi, kebijakan ini sangat ditentang oleh pengemudi becak Solo. Awalnya, wakil-wakil dari PPBS pergi ke kantor DPRD untuk menyampaikan penolakan mereka atas keputusan ini. Menyusul aksi ini, ratusan pengemudi becak membentuk suatu aliansi; Front Becak Anti Bajaj. FBAB menggelar serangkaian demonstrasi protes di kantor DPRD. Mereka berhasil menekan Ketua dan anggota DPRD untuk menandatangani sebuah pernyataan bahwa mereka mendukung aspirasi pengemudi becak untuk menolak beroperasinya bajaj di Solo. Sesudah berhasil menekan DPRD, mereka menggelar aksi lagi di kantor Walikota dan menekan Walikota. Terancam oleh pengemudi becak yang menjadi antagonis terhadap partai PDIP-nya, akhirnya Walikota setuju menghentikan kebijakan itu.
Mengapa protes ini berhasil? Ada beberapa kemungkinan penjelasan. Bisa jadi serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi becak menakutkan bagi pemerintah daerah dan anggota legislatif bahwa demo itu bisa berubah menjadi kerusuhan yang tak terkendali, sehingga mereka merasa tak punya pilihan lain selain sepakat menghentikan kebijakan ini. Kemungkinan lain adalah bahwa gerakan pengemudi becak punya kekuatan lain, afiliasi politiknya dengan partai yang berkuasa, PDIP. Ketua DPRD serta Walikota berasal dari partai ini dan sudah menjadi pengetahuan publik bahwa pengemudi becak di Solo adalah pendukung kuat PDIP. Para pengemudi becak telah efektif menggunakan akses mereka kepada para politikus di dalam gerakan mereka.
Pada 2004, menyadari bahwa “kemenangan” mereka tidak akan bertahan lama, asosiasi pengemudi becak, dipimpin oleh FKKB, memusatkan gerakan mereka pada penyusunan sebuah draft untuk perda mengenai pengemudi becak. Draft tersebut diberikan kepada anggota legislatif 2004 yang baru saja terpilih dan meminta menandatangani sebuah tanda terima dengan pernyataan bahwa mereka berjanji membawa dan memperjuangkan draft tersebut untuk didiskusikan di pertemuan-pertemuan DPRD ke depan. 25 dari 40 angggota legislatif menandatangani.
Apa Tuntutan Kelompok-Kelompok Marjinal?
Kelompok Marjinal di Solo percaya bahwa dalam banyak kasus, mereka dimarjinalkan oleh kondisi struktural yang membuat mereka tak mampu menemukan kerja dan sedikit harapan untuk meningkatkan gaya hidup mereka: Jika kami miskin, itu karena kami dibuat miskin. Sehingga, istilah yang tepat adalah bahwa kami dipinggirkan.
Seperti dapat dipelajari dari pengalaman di atas, ada kondisi struktural dari marjinalisasi multisisi di wilayah-wilayah perkotaan Indonesia: (1) karakter kebijakan kota, yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dan investasi; (2) sedikitnya akses kelompok sosial tertentu terhadap proses pengambilan keputusan, dan (3) kurangnya transparansi dan keterbukaan dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan kota. Nasib kelompok-kelompok marjinal juga dipengaruhi oleh sikap pejabat pemerintah. Sikap pemerintah terhadap kaum marjinal beragam mulai dari ketidaksukaan ekstrem karena yakin bahwa keberadaan mereka ilegal hingga menoleransi keberadaan mereka sepanjang tidak menentang peraturan secara terbuka. Pemerintah menyingkirkan mereka ketika keputusan-keputusan dibuat dan selanjutnya menolak dan mengabaikan kondisi orang yang tak berdaya.
Kaum marjinal Solo menyadari bahwa mereka lemah di hadapan kebijakan-kebijakan publik, mulai dari kebijakan upah, kebijakan pajak, kebijakan investasi, kebijakan sosial dan program-program seperti pembangunan kembali kota dan pemerindahan kota. Kebijakan-kebijakan dan program-program ini sering kali secara langsung berhubungan dengan peluang pendapatan, baik secara positif maupun negatif. Kaum marjinal di Solo semuanya merasa bahwa mereka direndahkan dan kontribusi mereka terhadap ekonomi tidak diakui. Mereka marah bahwa mereka tidak dikehendaki dan banyak yang bahkan dianggap “sampah” kota.
Belajar dari cerita tentang kaum marjinal Solo ini, jelaslah bahwa mereka memahami diri mereka sebagai “korban kebijakan negara”. Kebanyakan kebijakan ditetapkan oleh penguasa untuk melindungi kepentingan mereka sendiri dan kepentingan teman bisnis mereka. Kebijakan-kebijakan seperti kapan dan di mana pengemudi becak bisa beroperasi, dan di mana kereta api akan berhenti, sesungguhnya tidak mempertimbangkan orang yang dipengaruhi/terkena imbas kebijakan ini. Perda-perda dirancang dengan cara memberikan kekuasaan kepada Walikota untuk mengambil keputusan. Dalam banyak kesempatan, perda-perda ini jelas-jelas merusak peluang pendapatan dan kondisi hidup kaum marjinal. Akan tetapi, tuntutan utama kaum marjinal tidak menyangkut peluang pendapatan saja, melainkan keinginan mereka untuk diakui dan didengar tatkala kebijakan-kebijakan atau program-program tengah didesain. Di Solo, tiap-tiap kelompok relatif terorganisasi dengan baik dan memiliki keterampilan untuk memobilisasi aksi lebih lanjut. Mereka memiliki strateginya sendiri untuk melawan kebijakan pemerintah dan/atau pengusaha yang merusak, sekalipun dalam banyak kasus hanya meraih sedikit sukses. Dukungan dari institusi luar, seperti media, LSM, dosen, dan organisasi mahasiswa, bisa sangat membantu mereka.
Penulis adalah: anggota badan pembina Yayasan AKATIGA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar