Mereka adalah satu individu, Soekarno Hatta. Begitu pentingnya Hatta bagi Soekarno. Ketika Jumat pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno yang sedang demam meriang sambil tidur-tiduran di kamarnya, hanya menunggu Hatta untuk membacakan naskah proklamasi. Untungnya Hatta orang yang super super super disiplin, jadi dia datang tepat waktu. ‘Gak kebayang kalau Hatta molor dan baru datang pukul 1 siang. Alasan ngantuk atau ketiduran misalnya (saat itu bulan puasa dan Hatta pulang pagi abis begadang menyusun naskah proklamasi). Kalo Hatta telat datang, detik-detik bersejarah proklamasi kita mungkin bukan pukul 10, tapi pukul 1 siang, sesuai datangnya Hatta.
Tak banyak diantara kita yang ingin tahu, kapan sebenarnya Mohammad Hatta bertemu Soekarno pertama kali. Mereka diperkenalkan bukan dalam sebuah sekolah/institusi atau ketemu di jalan. Atau pun ngobrol kebetulan lagi antri, sambil tukar kartu nama atau pun saling barter nomor telepon. Mereka bertemu secara maya melalui argumentasi perang kata dalam berbagai tulisan. Meski beda watak dan pembawaan, ekspresi mereka sama: anti penindasan. Bukan kemerdekaan! Lho koq? Soal ini mereka beda mata angin. “Pendidikan rakyat dulu, baru merdeka”, pendapat Hatta. “Oh tidak! Merdeka dulu baru pendidikan”, Soekarno ngotot. “Jalan Bung (Hatta) akan tercapai kalau hari kiamat”, tegas Soekarno memberi alasan. Analoginya, kabur dulu dari penjara. Masalah pakai baju atau tidak, mau lari kemana, setelah itu makan apa, itu urusan no. 17. Yang penting, kabur dulu! Merdeka. Keduanya sama-sama benar.
Hatta bertemu pertama kalinya dengan manusia yang bernama Soekarno di Bandung. Dia diantar oleh seorang nasionalis yang juga kawan Soekarno pada tahun 1933. Masa itu mereka lagi getol-getolnya melawan penindasan dengan ketajaman berpikir. Pertemuan itu membuat mereka berada dalam satu perahu, tapi lain pemandangan. Hatta memandang ke kanan, Soekarno ke kiri, tapi perahu tetap ke depan. Ke arah kebebasan bangsa.
Soekarno sangat memerlukan Hatta dan begitu sebaliknya. Waktu pulang dari pembuangan di Bengkulu tahun 1942 (sebelumnya di Flores), tak ada yang menjemput Soekarno di Pasar Ikan, sebuah pelabuhan kapal kayu di Jakarta. Dengan pertolongan seorang nelayan, Soekarno minta dipanggilkan Anwar Tjokroaminoto, yang memang bekas iparnya. Anwar itu saudara kandung Utari, istri pertama Soekarno, yang juga putri dari pejuang Haji Oemar Said Tjokroamninoto (Maia Ahmad Dhani juga cicitnya Oemar Tjokroaminoto, tapi saya ‘gak tahu dari anak Pak Tjokro yang mana). Lalu Soekarno juga minta dipanggilkan Mr. Sartono, pengacara yang pernah membelanya melawan penguasa kolonial di pengadilan yang tak adil di Bandung beberapa tahun lalu. Tapi ada satu orang lagi yang dimohon Soekarno untuk datang menjemput, ya Hatta.
Ketika Soekarno sudah tak berdaya, Hatta-lah yang mewakili keluarga Soekarno untuk urusan keluarga, seperti pernikahan. Hatta juga yang membela mati-matian Soekarno yang sudah tiada, bila ada pemutarbalikan sejarah yang sering dilakukan ‘sejarawan pesanan’, yang mencoba ‘membunuh’ atau menghilangkan peran Soekarno dalam drama sejarah Indonesia. Suatu hari, pernah Hatta menulis kesaksian alibi sejarah di atas kertas bermaterai, untuk membela sahabatnya itu. Hatta sosok tegas yang lembut super sopan. “Bung Hatta orangnya tenang tapi menghanyutkan”, komentar Guntur tentang sahabat ayahnya itu.
Julukan yang mereka dapat pun aneh dan unik: PROKLAMATOR. Tidak pernah akan ada orang Indonesia dapat predikat itu. Pahlawan nasional bisa membludak. Presiden dan wakil presiden akan membengkak jumlahnya. Tapi proklamator, hanya punya SOEKARNO dan HATTA (ada juga sich ‘proklamator lain’ di Indonesia, seperti upaya separatis kemerdekaan di beberapa daerah Indonesia). Lucunya, gelar itu baru diberikan secara resmi oleh pemerintah, 41 tahun setelah Indonesia merdeka. “It’s too late”, kata orang. “Ngapain aja pemerintah semala ini?”, begitu segelintir komentar.
Hatta dan Soekarno ibarat malam dan siang. Beda, Tapi dua-duanya berguna. Kita tak bisa hidup tanpa tidur di malam senyap. Namun tak mungkin pula menjalani seluruh hidup hanya dengan tidur-tiduran di kegelapan hari.
Hatta dan Soekarno seperti koin bermuka ganda. Satu tapi beda. Kenyataan ini sudah diketahui publik dan Soekarno sendiri sering menggembar-gemborkan pertentangan antara mereka. Tapi bukan perbedaan sebagai sahabat dan pribadi. “Hatta sering tidak seirama denganku”, kata Soekarno menilai sahabat kentalnya. Perbedaan dalam pandangan politik itu, kian lama menggunung dan mudah dilihat orang. Hasilnya, Hatta tak mau lagi mendampingi Soekarno menjadi nakhoda Indonesia. Hatta mundur sebagai wakil presiden pada akhir tahun 1956. Padahal meski berbeda, Hatta menyukai Soekarno. Buktinya, ketika ibukota Indonesia pindah ke Jogjakarta, Hatta lebih senang ikut Soekarno dan membiarkan PM Sutan Sjahrir sendirian di Jakarta. Padahal Sjahrir dan Hatta banyak se-ide, bahkan se-kampung.
Sejak Hatta mundur, Soekarno berjalan sendirian. Tak ada lagi orang sebagai “second opinion-nya” Soekarno. Dan ini secara perlahan mengantarkan Soekarno ke ujung jalan akhir kekuasaannya. Hatta makin menjauhi Soekarno dan menghiasi keretakan itu dengan tulisan dan opini yang kritis pedas kepada sahabatnya. Kritik santun untuk menuntun sahabatnya agar berjalan sesuai idealisme yang pernah mereka bangun bersama. Pernah sebuah majalah keagamaan dilarang terbit Soekarno, karena memuat tulisan Hatta yang mengkritik Soekarno. Sejak itu dwitunggal menjadi dwitanggal. Berakhirlah Dynamic-Duo yang pernah dimiliki Indonesia. Tapi sekali lagi, mereka tidak berpisah sebagai sahabat. Sebagai pribadi mereka tetap berkawan akrab. Dengan sangat elegan, mereka berdua bisa membedakan wilayah pribadi dan wilayah politik. Beda jauuuuh dengan kita sekarang.
pertamax...keren artikelnya....
BalasHapus