Pada dasarnya kita tidak dapat menentukan kapan sejarah sastra kita lahir. Apakah setiap angkatan memiliki ciri yang selalu berbeda. Sampai dimana batasan antara angkatan satu dengan yang lainnya. Sejarah sastra di Indonesia dapat dikatakan hanya bergerak mengikuti bilangan tahun yang tidak begitu jauh antara satu angkatan dengan angkatan yang lain, bahkan karakter puisi dan penyair masih memiliki kesamaan pada setiap periodenya. Sebut saja......meskipun mereka lahir pada masa pujangga baru, namun kiprahnya masih terlihat jelas dan produktif di masa angkatan 45 dan seterusnya.
Mungkin jika kita memperhatikan lebih jauh tentang karya-karya sastra yang ada baik dalam bentuk puisi maupun essei baru akan terlihat kapan karya tersebut ditulis, terlepas siapa yang mengarangnya. Artinya, sejarah sastra kita lahir hanya diakibatkan oleh peristiwa sejarah bangsa yang melatarbelakanginya. Atas dasar itulah HB. Jassin mengelompokkan angkatan perperiode waktu di mana urutan-urutan sejarah mulai berkonflik. Di mulai pada tahun 1930-an sastra Indonesia dimulai angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru sebelum kemerdekaan. Ada angkatan 45, 66, 70, 80, 90, dan seterusnya setelah kemerdekaan.
Dalam pembutan karyanya, sastrawan Indonesia sangat dipengaruhi oleh keadaan bangsa saat itu baik dalam kondisi politik, sosial maupun kebudayaan. Sastrawan yang tergabung dalam angkatan Balai Pustaka hadir pada masa penjajahan Belanda. Karya-karya mereka harus tunduk dengan peraturan volkslectuur, yaitu sebuah lembaga kesusatraan di bawah pemerintahan kolonial belanda (Bali Post Online:2003). Sebelum diterbitkan karya-karya ini diselesi terlebih dahulu oleh lembaga ini. karena karya tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kekuasaan kolonial.
Lain halnya dengan Pujangga Baru, mereka hampir tidak memiliki identitas ke-Indonesiaan. Karena banyak sastrawn dari era ini berkiblat ke Barat dan melecehkan adat Timur. Mereka menjadi agen kebudayaan barat dan sedikit sekali yang masih bertahan dalam ketimuran mereka. Pemujaan Barat ini dipengaruhi oleh aliran Romantisme Eropa yang sudah lama berkembang sebelum masa Pujangga Baru ada.
Melalui pengelompokkan inilah kemudian tergabung penyair-penyair yang tentu saja belum mampu melepaskan pendahulunya. Karena bagaimanapun pendahulu itu adalah akar yang kemudian tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengalaman dan zamannya.
Angkatan 45
Sastra angakatan 45 memiliki perbedaan dengan sastra angkatan sebelumnya (Pujangga Baru dan Balai Pustaka). Lahirnya angkatan 45 diawali oleh perubahan iklim politik yang terjadi pada saat itu pada tahun 1942. Di mana pasukan Jepang pertama kali masuk Indonesia dan menjajahnya. Dalam kurun waktu 1942-1945 ini segala hal yang berhubungan dengan Belanda (baca Barat) seluruhnya di ganti dengan hal-hal yang mengangkat budaya Timur. Begitu juga dalam karya sastra, pada masa ini dikenal dengan Sastra Zaman Jepang. Sama seperti zaman Belanda, karya sastra ini pun harus tunduk pada pemerintahan Jepang. Karya sastra yang hadir harus sesuai dengan ideologi Jepang dan dapat mengangkat nama baik bangsa Jepang. Karena itu sastra yang ditulis pada masa ini lebih banyak berisikan propaganda penjajah Jepang. Adapun lembaga yang sensor karya sastra pada masa itu adalah sebuah pusat kebudayaan pro jepang Keimin BunkaShidosho. (Bali Post Online:2003).
Namun sesuai dengan perubahan politik yang disusul dengan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Banyak perubahan budaya yang terjadi dengan sangat ekstrim, termasuk kesussatraan. Perasaan yang sebelumnya sangat terkekang dan terkungkung pada peraturan dan kebijakan penjajah seakan siraman hujan pada kemarau yang panjang. Sastrawan kita menjadi begitu merdeka mengisi kemerdekaan saat itu dengan kreatifitannya. Karena itu, banyak karya-karya yang tercipta pada tahun 1945 yang berisikan semangat-semangat
kemerdekaan dan mencerminkan manusia yang merdeka.
Jika menilik dari metode Jassin tentang pengelompokkan penyair yang sesuai dengan zamannya, maka para penyair yang hadir sebagai pelopor angkatan 45 diantaranya adalah Chairil Anwar, Idrus, Pramudya Ananta Toer, Trisno Sumarjo, Asrul Sani, Usmar Ismail dan lain-lain. Namun sastrawan yang paling dikenal dan disebut sebagai pelopor angkatan 45 ini adalah Chairil Anwar, karena karya-karya puisinya puisi yang terkenal menggebu-gebu, bermutu dan sangat menggambarkan suasana kemerdekaan pada saat itu.
Surat Kepercayaan Gelanggang
Sastra angkatan 45 memiliki konsep seni yang diberi judul Surat Kepercayaan Gelanggang. Konsep ini halnya dengan teks Proklamasi, yang berbunyi Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Jika diperhatikan konsep Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut, jelas sekali sastrawan dan budayawan pada masa itu tidak mau dipengaruhi oleh pihak lain. Ia ada dari dirinya, untuk dirinya dan kepada dirinay sendiri. Mereka mengharamkan pihak manapun mempengaruhi apa yang meraka pikirkan. Kemerdekaan hati nurani yang mengarah pada kecintaan kepada bangsa dan kebudayaannya. Seperti yang tercantum dalam Surat tersebut selanjutnta:
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia kami tidak ingin kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat....
Pernyataan ini seperti sindiran kepada para penganut Pujangga Baru yang sangat berorientasi pada kebudayaan Barat. Sehingga menciptakan perpecahan antara kubu yang ke Barat dan kubu yang ke Timur.
Pernyataan itu pun menegaskan bahawa mereka tidak perlu kembali ke kebudayaan yang usang dengan menggosok-gosokannya agar kembali bagus dan dapat dibanggakan kembali. Para sastrawan pada angkatan ini ingin memandang ke depan dengan pikiran mereka sendiri dan mulai mengisi kemerdekaan dengan menciptakan kebudayaan baru yang bercirikan khas Indonesia.
AKU Chairil Anwar Si Binatang Jalang
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Puisi berjudul AKU ini ditulis Chairil pada bulan Maret 1943 dan pernah dimuat di majalah sastra Pembangunan No.1/tahun1 tanggal 10 Desember 1945. Ini adalah salah satu karyanya yang paling terkenal selain karyanya yang lain Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Terputus, Deru Campur Debu , Antologi Tiga Menguak Takdir yang ditulis bersama rekannya Asrul Sani dan Rivai Apin. Dan lain sebagainya.
Chairil Anwar dilahirkan di kota Medan 26 Juli 1922 dan tutup usia di usianya yang ke-27 di Jakarta 28 April 1949. Chairil tidak pernah memiliki latar belakang sastra, namun dengan semangat dan tekadnya dia belajar dan memilih sastra sebagai jalan hidupnya. Dengan kekuatan itu ia mengolah pilihan tersebut menjadi hal yang sangat mengagumkan. Namun sayang, Chairl tidak mendapat kesempatan untuk menyaksikan karya-karyanya dipuja dan dibanggakan bangsa ini karena ajal telah menjemputnya.
Ayah Chairil bernama Toeloes berasal dari Payakumbuh Sumatera Barat dan Ibunya bernama Saleha yang berasal dari Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa remajanya Cairil pernah sekolah belanda di HIS (Hollands Inlandsche School) di Medan tapi hanya sampai kelas dua saja. Kemudian Chairl melanjutkan sekolahnya di MULO (Meer Uietgebred Lager Onderwijs, setingkat Sekolah Menengah Pertama) karena pindah ke Jakarta mengikuti Ibunya, yang saat itu telah bercerai dengan Ayahnya.
Chairil adalah pembaca yang luar biasa, kutu buku, hampir kesehariannya dihabiskan untuk membaca dan membaca. Hobinya inilah yang menjadikan Chairil memiliki pengatahuan yang sangat luas, ditunjang pula dengan pengausaannya terhadap tiga jenis bahasa asing, yaitu Belanda, Jerman dan Inggris. Karya-karya sastra dunia yang pernah dibacanya adalah karya milik Rilke, Hemingway, Steinbeck, Andre Gide, W.H Anden, Conrad Aiken, John Conford, Hsu Chih Mo, Arcicald Mac Leish, Willem Elsschot, H. Marsman, Edgar du Peron, dan J. Slauerhoff. Kamaniakan membaca menyebabkannya suka mencuri buku. Serta pengaruh pada tulisannya, hingga Chairil dijuluki sebagai plagiator.
Namun demikian karya-karya Chairil menggugah dan memicu semangat bangsa saat itu karena bahasanya yang lugas, solid dan kuat. Tidak hanya itu, Chairil dengan keahlian berbahasanya juga menerjemahkan karya-karya asing ke dalam bahasa Indonesia. Ia adalah ujung tombak angkatan 45 yang menciptakan trend baru dalam berpuisi. Tidak seperti puisi-puisi yang ditulis pendahulunya, Pujangga Baru, yang cenderung mendayu-dayu dan romantis. Bersama teman-temanyalah kemudian Chairil menuliskan Surat Kepercayaan Gelanggang.
Puisi AKU ditulis Chairil sebagai cerminan kemerdekaan jiwanya sekaligus kritiknya terhadap pemerintahan zaman itu. Sifat memberontak, individualis dan berani yang dimiliki Chairil pada akhirnya menjadikan Chairil sebagai penulis yang berbeda dan Revolusioner. Dan oleh karena itulah pada tahun 45 itu, karya-karya Chairil manjadi senjata ampuh dalam mendukung perjuangan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar