Kalimat hampir saja biasanya lazim digunakan untuk sesuatu yang tidak jadi terjadi, misalnya hampir saja jatuh artinya tidak jadi jatuh, atau hampir saja tertipu artinya tidak jadi tertipu. Nah, Sepakbola Indonesia selama lebih dari 1 dasawarsa ini sangat akrab dengan kalimat hampir saja ini. Bukan saja akrab tapi seolah-olah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah sepakbola kita.
Selama lebih dari 1 dasawarsa tersebut, sepakbola kita tidak bisa keluar dari garis edar hampir saja, hampir saja juara AFF ( artinya tidak jadi juara Piala AFF ), hampir saja lolos Group A Piala Asia ( artinya kita tidak lolos ), hampir saja dapat emas Sea Games ( artinya gagal lagi dapat emas ) dan hampir saja MU bermain di GBK ( artinya tidak jadi bermain ), satu-satunya hampir saja yang baik bagi sepakbola Indonesia adalah hampir saja Indonesia terkena hukuman FIFA ( artinya nggak jadi di hukum )
Ada yang salah dalam sepakbola Indonesia selama lebih dari 1 dasawarsa ini, kita boleh saja mengganggap liga kita yang terbaik di ASEAN, ASIA bahkan Dunia karena memiliki tingkat rata-rata penonton yang tinggi setiap musimnya, tapi kita bukan apa – apa secara prestasi kita hanya menang di noise, di kebisingan. Bahkan di tingkat ASEAN saja sudah lama sekali kita lengser dari singgasana raja. Kita bahkan hampir tidak ingat kapan kita terakhir pernah merasakan berada di atas di level ASEAN.
Lihatlah hasil assesment AFC terkait proses grading liga dan klub profesional di ASIA, dimana posisi kita ? dari 11 item yang dinilai, Indonesia berada di peringkat paling bawah diantara negara yg tersertifikasi memiliki liga yang sudah profesional, nilai kita bahkan tidak lebih dari setengah nilai Thailand, sangat jauh jika mau membandingkan dengan Jepang, negara yang ketika memulai J-League nya sempat berguru kepada Kompetisi Galatama kita. Bahkan kita juga kalah dibanding dengan negara yg tidak tersertifikasi memiliki Liga Profesional. Kita memang paling pandai kalau soal ‘pengakuan’.
1 dasawarsa lebih, sepakbola kita terlalu nyaman, terlalu enak karena tidak ada yang berani melakukan perlawanan dan keluar dari zona nyaman ‘hampir saja’ tersebut. Ketika Federasi kita gagal membangun prestasi team nasional, kultur yang sehat di dalam kompetisi dan pembinaan usia muda yang terskema baik selama 1 dasawarsa tersebut, kita menjadi apatis dan mati rasa soal prestasi. Kita cukup terhibur dengan prestasi hampir saja tersebut karena memang kita sudah memiliki kemakluman akan prestasi hampir saja tersebut. Atau kita cukup terhibur pemain idola kita bermain bagus untuk klub, eksis di sosial media, menjadi bintang dan selebritis, ya sampai di sanalah level kita …. miris !
Seperti lagunya Bang Iwan Fals “Kesaksian”, saat ini memang kita harus bergerak, berjuang membangunkan semua orang, membuka mata semua orang yang peduli dengan masa depan sepakbola kita. Kita sudah lama tertidur dan dibuai mimpi dan janji-janji manis pengurus Federasi selama 1 dasawarsa lebih. Sudah saatnya membangun kesaksian soal masa lalu sepakbola kita dan sudah saatnya kita membangun sebuah impian yang nyata tentang masa depan sepakbola kita. Mimpi yang nyata itu terjadi ketika sadar dan bukan dalam keadaan tertidur. 1 dasawarsa lebih kita diberi mimpi ketika tertidur, saatnya bangun dan bermimpi benar. Bukankah mimpi hari ini adalah kenyataan di masa depan !
Oleh karena itu kisruh yang dialami sepakbola kita saat ini adalah bagian dari takdir sejarah yang memang harus terjadi. Tidak ada satu kekuatan kebaikan pun yang mencoba melakukan sebuah perbaikan tanpa menghadapi sebuah perlawanan. Ini adalah proses membangun iklim yang sehat bagi masa depan sepakbola kita. Bukankah jika kita ingin sehat kita harus berani membuang jauh hal-hal yang bisa menyebabkan kita sakit. Memisahkan mana yang baik dan mana yang bakal merusak.
Oleh karena itu ketika banyak orang pesimis memandang masa depan sepakbola kita dengan kisruh dan kekalahan memalukan Garuda Muda kita kemarin, saya mungkin bagian dari sedikit orang Indonesia yang memiliki sudut pandang yang berbeda tentang masa depan sepakbola Indonesia, OPTIMIS.
Saya melihat, ada kesungguhan Federasi untuk membangun iklim yang sehat sepakbola Indonesia, walalupun belum sempurna, masih banyak kekurangan, belum maksimal, saya rasa ini semua masih terus berproses dan harus terus kita kawal dengan benar supaya tidak terganggu dan terkontaminasi virus masa lalu. Federasi kita juga harus terus di ingatkan, jangan dibiarkan nyaman terlena juga, mereka harus dipaksa bekerja dengan baik membangun masa depan sepakbola kita.
Hanya saja kita juga harus sadar dan jujur melihat, bahwa prestasi sepakbola Indonesia tidak akan kita raih dengan cepat dan instant, perlu waktu, perlu proses, perlu pondasi yang kuat untuk kita berdiri kokoh dan kuat menghadapi tantangan masa depan. Membangun kembali dari sesuatu yang ada tapi sudah rusak dan bobrok akan jauh lebih sulit dibanding membangun sesuatu yang baru dari ketidak adaan. Akan tetapi kita harus mulai memaksa soal standar yang tinggi yang mau kita bangun dari prestasi sepakbola kita. Jadi saya bersyukur ketika kita semua merasa tidak nyaman dengan kekalahan Garuda Muda kita kemarin, itu bagus, artinya kita mulai membangun masa depan sepakbola ini dengan standar yang jelas dan tinggi. Hanya saja kita harus melakukan itu dengan cara yang baik dan membangun, bukan menghancurkan.
Itulah mengapa saya sangat respect dengan rencana membangun generasi emas sepakbola Indonesia dengan cara memperbaiki dari bawah, dari sumber masa depan langsung …… anak-anak muda. Masa depan sepakbola Indonesia itu milik para pemain muda kita dimasa kini.
Indonesia tidak akan pernah kehilangan talenta masa depan, kita hanya tidak pernah memberi mereka jalan, tempat dan waktu. Kita lebih takut pemain kawakan, top dan tenar kita tidak bermain untuk team nasional kita saat ini dibanding dengan ketakutan kehilangan masa depan sepakbola kita karena tidak memberi tempat, jalan dan kesempatan kepada anak muda kita untuk menjadi squad team nasional.
Lihatlah Spanyol dan German, mereka berhasil membangun generasi emas sepakbola mereka dengan memberikan jalan bagi para pemain muda. Spanyol membangun kekuatan dari level kelompok umur mereka tumbuh terus bersama dan menguasai setiap tingkatan level kompetisi dari mulai kelompok umur. Mereka juara di U 17, U-21, Piala Dunia Yunior, dan ketika mereka sudah tumbuh lebih dewasa tidak sulit untuk merajai kelompok senior karena lawan mereka adalah lawan yg dihadapi dan mereka kalahkan pada saat di kelompok umur. Perlu waktu dan cukup panjang, tapi mereka sabar dan berhasil dengan baik.
Sedangkan German menggunakan cara memotong satu generasi untuk memberikan peran dan tempat lebih besar kepada pemain muda mereka. Anak muda German hasil didikan Akademi dan Kompetisi tersebut memang belum memberikan prestasi seperti Spanyol, tapi semua orang juga tahu mereka akan sangat berbahaya dalam kurun waktu 10 tahun. Bagaimana tidak, saat ini usia tertua yang bermain dilapangan untuk Team Nasional German adalah 26-27 thn, rata –rata pemain yang turun kelapangan adalah antara 22-24 tahun dan mereka bisa bersaing dengan ketat dengan pemain yang usia jauh lebih tua, berpengalaman dan senior dibanding mereka.
Mengapa mereka bisa ? karena mereka mempunyai iklim yang sehat dalam sepakbola mereka. Tidak ada sabotase dalam rencana dan proses perbaikan yang mereka buat, semua mendukung dan memberi jalan. Kelompok yang sekian lama tidak berhasil membawa prestasi dan perubahan kebaikan bagi sepakbola Spanyol dan German, sadar dan rela berbagi bahkan mundur memberikan jalan bagi generasi baru yang membawa angin perubahan.
Kita harus jujur mengatakan bahwa memang sulit jika pendekatan kepada sepakbola dilakukan dengan pendekatan politik, karena politik selalu berusaha mempertahankan kekuasaan selama mungkin dan jika terlepas maka akan mencari jalan apapun untuk dapat merebut kekuasaan itu kembali, itulah hukum politik. Iklim tidak sehat inilah yg beruntung tidak dimiliki oleh Spanyol dan German, tapi sayangnya kita memilikinya saat ini dan kita HAMPIR SAJA LUPA akan hal ini. Oleh karena itu mengapa di dalam Statuta FIFA dan PSSI pasal 5 dengan tegas melarang politisasi di dunia sepakbola.
Kita berharap masa depan sepakbola Indonesia memiliki takdir hampir saja yang berbeda, kita mungkin akan melihat media menulis di masa depan – Hampir Saja Kita tidak Juara AFF karena kita berhasil menjadi Juara Piala AFF dengan mengalahkan Thailand 3-2 misalnya atau hampir saja kita tidak lolos putaran Final Piala Asia yang artinya kita berhasil lolos atau bahkan hampir saja kita gagal ke Piala Dunia yang artinya kita berhasil lolos ke Piala Dunia. Sepertinya kita akan tetap akrab dengan garis edar hampir saja itu di masa depan, tapi dengan memiliki takdir hampir saja yang berbeda dengan masa lalu.
Dan kita mulai hari ini dengan memberikan kesaksian, mengingatkan semua orang, membuka mata dan fikiran semua orang bahwa perubahan sedang terjadi, perbaikan sedang dilakukan dan sepakbola Indonesia sedang meninggalkan zona nyamannya untuk membangun Generasi Emas masa depan sepakbola Indonesia. Mengapa ? karena banyak orang yang sudah hampir saja lupa J
Boleh saja banyak orang hari ini tidak mengenal dan meragukan apa yang bisa dilakukan oleh Andik Vermanysah, Rendi Irawan, Gunawan, Wahyu Wijasmara, Ferdinand Sinaga, Syamsul Arif, Ahmad Hisyam, Agung Batolla, Muhamad Guntur Triaji, Aji Saka, Taufik, Samsir Alam, karena hari ini memang bukan masanya mereka, masa mereka di masa depan karena masa depanlah milik mereka ! apalagi jika kemudian kisruh ini berakhir dan semua kembali ke rumah dengan damai, bisa anda bayangkan bagaimana Skuad Garuda muda masa depan kita semakin lengkap dan kuat, mereka akan memberikan bangsa ini prestasi terbaik, itu keyakinan saya . FIN !
@gilang_mahesa
ITPreuner yg mencintai sepakbola Indonesia
Nb. Ikhtisar tulisan saya ini pernah dimuat di Majalah Sepakbola Mingguan 90 Menit edisi ke 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar