Salah satu argumen paling menarik para penikmat sepakbola akan mengapa permainan ini merupakan permainan terbaik di dunia menurut saya adalah karena permainan ini merupakan permainan paling berkultur di muka bumi. Segala permainan ala Amerika yang dianggap menjadi pesaing kuat sepakbola, tanpa berusaha mendiskreditkan, merupakan permainan yang didominasi oleh satu kultur atau memang hanya memiliki satu kultur. Saya memang tidak terlalu mengerti American Football misalnya, atau Hockey, tapi saya tidak bisa melihat permainan ini mempunyai budaya semacam tiki-taka, catenaccio, total football, dan lain sebagainya.
Kultur dalam sepakbola entah kebetulan atau memang ada penjelasan yang lebih ilmiah, identik dengan karakter suku bangsanya. Orang-orang Italia misalnya, dihuni oleh dua karakteristik umum pesepakbola, mereka yang santai, menikmati hidup, tapi penuh sejuta trik ala orang selatan Italia dan mereka yang lebih lurus, pekerja keras, dan pantang menyerah ala orang-orang utara. Orang Britania, seperti digambarkan oleh petarung-petarung klasiknya macam Richard The Lionheart atau Mel Gibson dalam Braveheart, merupakan orang-orang yang tidak banyak berimprovisasi dan doyannya menggebu-gebu tanpa banyak sentuhan-sentuhan yang “tidak penting”. Orang Brazil, julukan tim sepakbolanya saja sering disamakan dengan tarian khas negaranya, apa lagi yang perlu saya jelaskan?
Yang baru-baru ini saya lihat dan kagumi adalah bagaimana pergeseran kultur sebuah bangsa juga berpengaruh pada pergeseran kultur sepakbola bangsa tersebut (atau sebaliknya?). Tanpa perlu menjadi pakar sepakbola, tentu kita bisa melihat perbedaan tim sepakbola Jerman yang dulu dan sekarang. Die Mannschaft yang dulu adalah sebuah kelompok alpha-male yang dingin, tangguh, dan pantang menyerah. Sosok-sosok seperti Beckenbauer, Lothar Matthaus, Matthias Sammer, dan terakhir Oliver Kahn dan Michael Ballack adalah prototype paling khas dari Jerman yang lama. Kini, setelah mengalami rentetan hasil buruk hingga Euro 2000, Jerman merubah haluan sepakbolanya ke arah yang lebih flamboyan, luwes, dan seakan-akan menjadi antithesis penuh dari pendahulu-pendahulu mereka. Semakin banyaknya imigran, serta meningkatnya teknologi dan ilmu pengetahuan mengantar petinggi-petinggi sepakbola Jerman untuk melihat kemungkinan sang Panser untuk melepaskan kultur lamanya demi kemajuan prestasi.
Kurang lebih lima tahun setelah Jerman memutuskan untuk mengalihkan filosofi sepakbolanya. Kita mulai melihat talenta-talenta muda Jerman dipercaya untuk mengangkat panji Der Panzer di kancah internasional. Gelombang besar talenta baru ini dimulai pada Piala Konfederasi 2005 dimana mungkin untuk pertama kalinya kita melihat tim Jerman yang memainkan sepakbola yang menyerang dan atraktif. Brand baru sepakbola Jerman ini juga diwarnai dengan keterlibatan imigran seperti Patrick Owomoyela dan Gerald Asamoah yang lebih intens, begitu juga dengan sosok bomber muda sensasional keturunan Polandia, Lukas Podolski yang semakin terlihat tajinya. Di sisi pertahanan, meninggalkan pemain-pemain bertahan lawas seperti Christian Worns dan Jens Nowotny di rumah, Klinsmann memberanikan diri untuk mempercayai tembok kembar muda yang menjanjikan Robert Huth dan Per Mertesacker. Skuad Konfederasi 2005 inilah yang nantinya disiapkan sebagai “pengenalan resmi” Jerman baru kepada dunia di Piala Dunia 2006.
Podolski, bersama Schweinsteiger, Mertesacker dan beberapa pemain muda lain yang tidak ada dalam skuad Konfederasi seperti Philip Lahm dan David Odonkor melejit hingga semifinal dan dengan bangga ditundukan oleh juara dunia, Italia. Walau hari itu anak-anak muda ini gagal untuk menjadi Juara, skuad 2006 akan selalu diingat sebagai katalis perubahan filosofi sepakbola Jerman. Kini, mayoritas lulusan skuad ini menjadi pemimpin Jerman baru yang flamboyan, atraktif, dan luwes. Akan tetapi, Huth mempunyai cerita yang sedikit berbeda dari kawan-kawannya.
Sebuah kultur sepakbola memang tidak tercipta untuk seluruh pemain yang ada di muka bumi ini. Tiki-taka tentu tidak tercipta untuk Peter Crouch, begitu juga kick and rush yang tidak ditakdirkan untuk dimainkan Andres Iniesta. Entah karena tidak cermat atau memang mencari tantangan, selalu saja ada pemain yang mencoba kultur baru dan akhirnya gagal. Awalnya bisa dilihat dari rombongan Spanyol di Italia seperti Gaizka Mendieta di Lazio, serta Jose Mari dan Javi Moreno yang gagal berbaur dalam kultur barunya. Contoh yang lebih ekstrim bisa kita lihat dalam diri Robbie Keane yang berani-beraninya merumput di Serie-A bersama Inter Milan.
Kasus-kasus diatas kebanyakan terjadi karena kultur sepakbola negeri asal pemain yang sudah terlalu mendarah daging menghambat mereka untuk beradaptasi dengan kultur baru. Keane tentu tidak terbiasa dengan passing-passing sabar yang membuat dia terlalu banyak berpikir. Mendieta juga mungkin memiliki kasus yang sama dan heran kenapa terlalu banyak pergelutan ditengah lapangan di Serie A. Solusinya mudah bagi mereka, pulang ke kampung halaman dan kembali menikmati sepakbola yang “sebenarnya”.
Robert Huth merupakan anomali dalam kasus semacam ini. Mungkin ia terjebak dengan pergeseran kultur sepakbola di negaranya sendiri. Pemain yang dibesarkan dalam youth system Union Berlin ini memang dikenal sebagai pemain yang galak, tanpa kompromi, dan lugas. Kecemerlangannya ini membuat Huth muda dilirik oleh klub Premier League yang sedang membangun dinasti baru, Chelsea FC. Dibawah Mourinho, Huth memang tidak menjadi pilihan utama di tim Chelsea. Akan tetapi, Mou percaya bahwa Huth kelak akan menjadi punggawa Chelsea dan akan dianggap sebagai jajaran bek kelas atas dunia. Buktinya, The Special One pernah menolak mentah-mentah tawaran Bayern Muenchen untuk membawa Huth pulang ke Jerman.
Karir emas seakan-akan telah tertulis dalam diri Huth muda. Meski belum menjadi pilihan utama di Chelsea, Huth sudah merangsek ke skuad tim nasional. Dunia pun mulai merekognisi ketangguhan bek yang dijuluki The Berlin Wall ini. Penampilan cemerlangnya sepanjang Piala Konfederasi 2005 memberikan publik dunia sinyal akan kehadiran pemain ini. Tentu kita tidak akan lupa bagaimana golnya melawan Mexico di Piala Konfederasi membuat kita berbondong-bondong menanti bagaimana Huth berpartner dengan Per Mertesacker di Piala Dunia 2006.
Akan tetapi, tanpa terduga 2006 menjadi tahun malapetaka bagi Huth. Ia disingkirkan dari posisi bek tengah inti oleh Christoph Metzelder yang berarti dirinya gagal mengarungi Piala Dunia sebagai starter Jerman. Dianggap sering lalai dan tidak terlalu nyaman dengan bola dikakinya, Huth akhirnya menemukan dirinya hanya menjadi cadangan di Piala Dunia 2006, dan lebih sialnya tidak dipanggil lagi hingga tahun 2009. Dalam karir klub nya Huth juga akhirnya memutuskan pindah ke klub semenjana Middlesbrough akibat gagalnya menembus satu slot yang sudah dikunci oleh trio John Terry, Ricardo Carvalho, dan William Gallas di Chelsea. Calon pemain inti Der Panzer di Piala Dunia ini harus meniti karirnya kembali di papan bawah liga Inggris.
Tidak merasa kecil dan gagal, Huth perlahan-lahan menemukan karir nya kembali di Inggris, toh Gunnar Heidrich (pelatihnya di tim muda Union Berlin) pernah mengatakan kalau Huth memang tercipta untuk sepakbola Inggris. Sempat ikut terdegradasi bersama The Boro di tahun 2009, Huth menemukan dirinya sebagai pemain kunci dan kapten tim. Walau Middlesbrough tidak berhasil mengamankan tiket promosi, Huth menemukan tiket promosinya sendiri dengan bergabung dengan Stoke City. Karir Huth di Stoke tidak bisa dibilang tanpa tantangan. Sempat di plot sebagai bek kanan, Huth beruntung kompatriotnya saat itu Jonathan Woodgate dan Matthew Upson, gagal menjadi partner sempurna Ryan Shawcross. Tony Pullis pun menempatkan Tembok Berlinnya ke jantung pertahanan. Hasilnya? Musim ini tanpa diragukan lagi pertahanan Stoke merupakan salah satu yang terbaik di Inggris. Duo Huth dan Shawcross merupakan duo pertahanan yang mungkin bisa dibilang paling intimidatif. Tinggi besar, menakutkan, dan tanpa kompromi. Huth bersama Shawcross menjadi bagian puzzle utama dari sepakbola Stoke yang tidak atraktif, tidak flamboyan, dan tidak luwes sama sekali, antithesis sepakbola yang sedang berkembang di kampung halaman Huth di Jerman.
Selama kurang lebih satu dekade ini kita telah melihat Robert Huth membawa karirnya ke berbagai level, dari menjadi sorotan dunia di turnamen internasional bersama timnas Jerman hingga berhujan-hujan dan berlumpur-lumpur di kasta kedua sepakbola Inggris. Huth memang mengalami turbulensi berat pada karirnya. Katakan apapun sesuka anda tentang karir Robert Huth, yang jelas hujan deras dan tanah lembab Britania telah mengeluarkan yang terbaik darinya.
Chandraditya Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar